KOMPAS.com - Tewasnya dua siswa SMAN3 Setiabudi DKI saat pelatihan untuk anggota baru klub pencinta alam sekolah tersebut memicu kemarahan Pjs. Gubernur DKI Jakarta dan Kadisdikbud DKI Jakarta hingga mengancam akan membekukan semua kegiatan pencinta alam di DKI yang kadung tumbuh subur bukan saja di Jakarta, tapi di seluruh Indonesia. Kematian tersebut disebabkan kekerasan yang dilakukan oleh senior pelatih, meskipun dalam pengawasan guru pembina.
Tentu saja, jika pemerintah DKI Jakarta melarang permanen kegiatan yang sangat baik itu, dapat menjadi rujukan daerah lain ketika terjadi kecelakaan serupa saat berkegiatan di alam bebas. Yang terjadi, kegiatan pencinta alam bakal mati suri.
Tumbuhnya kegiatan alam bebas dalam bentuk petualangan tersebut sangat baik, karena sebagai kegiatan ekstra kurikuler (ekskul), pencinta alam menjadi praktik pendidikan karakter yang paling bernas dan berkelanjutan. Jika pada era 1970-an kegiatan ini masih dianggap elitis dan perbuatan nekat, saat ini sudah menjadi tren. Tren mendaki gunung, misalnya.
Di era tersebut kelompok yang bergaung di tingkat nasional hanya sedikit, sebutlah misalnya Mapala UI, Wanadri, atau Aranyacala Trisakti. Saat ini, hampir tak ada perguruan tinggi di Indonesia yang tak punya klub pencinta alam. Pun, demikian dengan SMA/SMK yang umumnya punya ekskul pencinta alam. Ekskul ini dibanjiri murid yang ingin berekspresi dan terlihat keren.
Namun, beberapa SMA/SMK masih menunda merestui kegiatan pencinta alam menjadi ekskul resmi. Alasannya adalah ketiadaan guru pembimbing, mengingat risiko kegiatan di alam bebas cukup tinggi. Maklum, beberapa sub-kegiatan pencinta alam memang tergolong olahraga atau hobi ekstrim, yaitu arung jeram, memanjat tebing, menelusuri goa, serta mendaki gunung salju.
Sebelum hiruk pikuk kurikulum baru, Kementerian Pendidikan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah heboh mengenai pendidikan karakter dengan maksud menyikapi kelesuan sikap dan moral bangsa lewat kampanye 18 butir nilai-nilai pendidikan karakter. Tetapi, 18 butir karakter baik yang wajib itu sangat sulit diajarkan, karena karakter yang membekas bermula dari kebiasaan yang terukir dan menjadi sikap keseharian.
Menjadi pegiat ekskul pencinta alam mendidik karakter murid menjadi disiplin. Kecerobohan akan memunculkan risiko celaka hingga kematian yang semestinya bisa diperhitungkan (predicted risks), kecuali resiko alam yang tak bisa diperhitungkan, semisal gempa bumi atau gunung meletus.
Pencinta alam juga dilatih tangguh fisik dan psikis menghadapi dinginnya puncak gunung, ganasnya arus liar dan gulungan ombak di laut. Kegiatan ini juga melatih keuletan melewati hambatan alam yang sangat diperlukan saat bekerja.
Alam mengajarkan kebersahajaan, batas kekuatan dan kelemahan diri yang berujung pada kerendahan hati dan penghargaan kepada orang lain. Alam juga mengajarkan rasionalitas dan kejujuran bersikap, disinilah integritas pribadi tumbuh dan matang.
Masih banyak sikap dan karakter handal yang bisa ditumbuhkan dengan menjadi pencinta alam seperti kerjasama, faham tentang keberagaman, kesetaraan manusia dan tentu kreatifitas dalam mencipta.
Mungkin saja pola itu diadopsi oleh beberapa ekskul klub pencinta alam, tetapi seringkali dimodifikasi dengan tambahan kekerasan dari senior kepada junior agar tidak "cengeng". Padahal, sekali pun pada pendidikan TNI dan Wanadri yang terkenal berat, tak pernah ada yang tewas karena kekerasan saat berlatih. Sekali lagi, tewas karena tindak kekerasan, bukan latihan fisik atau berkegiatan yang menguras fisik.
Disiplin, tangguh dan ulet, serta kreatif adalah keharusan dalam kehidupan atau bergiat di alam bebas. Tetapi, karakter itu mustahil tumbuh dalam cara mendidik dengan kekerasan dan instan.
Di Wanadri, karena beragamnya calon anggota, lebih banyak melatih fisik terstruktur dan diceburkan ke situasi ekstrim. Sementara itu, di Mapala UI, karena calon anggotanya lebih seragam, mengutamakan melatih teknis dan gemblengan psikologis dalam bentuk "cela celaan".
Kedua cara itu terbukti mampu mendidik calon anggota menjadi manusia tangguh saat bekerja dan tidak menghianati kredo seorang pencinta alam, bahwa alam itu tidak bisa ditaklukkan. Prinsip paling utama dipegang oleh anggotanya sangat sederhana, tapi selalu membekas, yaitu; "Jangan bunuh apapun kecuali waktu. Jangan ambil apapun, kecuali foto dan jangan tinggalkan apapun kecuali jejak kaki."
Melihat hal itu, tentu saja, Gubernur dan Kadisdik DKI harus membuka kembali dan membina intensif ekskul pencinta alam di SMA/SMK dengan cara menggandeng klub sejenis di tingkat perguruan tinggi yang mendidik calon anggotanya dengan benar sebagai mentor. Karena dengan begitulah, tujuan Kemendikbud untuk menerapkan 18 butir pendidikan karakter kepada siswa lebih mudah diterapkan.
Penulis adalah Direktur Pertamina Foundation/Ketua Pendidikan Calon Anggota Mapala UI Tahun 1986