Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Membaca Kurikulum 2013

Kompas.com - 20/08/2014, 22:38 WIB

Oleh:

Jika tahun lalu Kurikulum 2013 hanya diterapkan terbatas di sejumlah sekolah tertentu, mulai tahun 2014, kurikulum tersebut diterapkan serentak di semua tingkat pendidikan dasar dan menengah di seluruh Indonesia. Implementasi kurikulum itu terkesan kedodoran akibat sejumlah persoalan di lapangan.

Penerapan Kurikulum 2013 di awal ajaran baru 2014/2015 tidak berjalan mulus. Sejumlah persoalan mencuat terkait implementasi kurikulum tersebut, mulai dari guru belum siap karena belum mendapat pelatihan hingga keterlambatan buku teks siswa. Persoalan itu mengakibatkan kegiatan pembelajaran di sekolah terkendala.

Kendati diberlakukan secara serentak di seluruh sekolah mulai Juli lalu, pelaksanaan Kurikulum 2013 terkesan dipaksakan. Hal itu tampak dari waktu pelaksanaan pelatihan para guru yang singkat dan mepet dengan jadwal tahun ajaran baru, 14 Juli 2014. Pelatihan yang singkat itu membuat guru sulit mengubah cara berpikir dan perilaku mengajar di depan kelas, dari kebiasaan sebagai penceramah menjadi fasilitator.

Selain itu, tidak semua guru mendapat pelatihan terkait kurikulum baru tersebut. Di Papua, misalnya, baru 37 persen guru sasaran yang dilatih. Padahal, menjelang pelaksanaan Kurikulum 2013 pada tahun ajaran baru 2014-2015, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengklaim sudah melatih 1,2 juta guru di seluruh Indonesia.

Persoalan lain adalah buku paket yang menjadi pegangan siswa dan guru sejauh ini belum terdistribusi secara merata. Dari pantauan Federasi Serikat Guru Indonesia, keterlambatan buku Kurikulum 2013 terjadi di sejumlah daerah, seperti di Jakarta, Purbalingga, Bekasi, Depok, Bogor, Indramayu, Garut, Tasikmalaya, Bima, Mataram, Medan, Batam, dan Sumenep.

Tak hanya itu, di sejumlah sekolah yang sudah menerima buku pelajaran pun belum semua buku pelajaran lengkap tersedia. Ada lagi sekolah yang sudah menerima buku pelajaran untuk semua mata pelajaran, tetapi jumlah buku yang diterima masih kurang dibandingkan dengan jumlah murid.

Idealnya, keberadaan buku pelajaran sudah ada di sekolah minimal tiga bulan sebelum dipergunakan. Dengan begitu, sebelum kegiatan pembelajaran dimulai, baik siswa maupun guru dapat mempelajarinya lebih dulu sebagai persiapan.

Situasi itu memunculkan penolakan implementasi Kurikulum 2013 di sejumlah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, terutama di Cilacap, Banyumas, dan Banjarnegara. Penolakan itu resmi disampaikan oleh Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) jenjang SMA dan SMK yang terang-terangan belum siap melaksanakan implementasi kurikulum baru seperti yang dikatakan Ketua Umum Pengurus Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistyo bulan lalu.
Tunjangan profesi

Persoalan lain terkait kurikulum yang muncul di ranah publik adalah kekhawatiran hilangnya tunjangan profesi guru. Tunjangan profesi guru mensyaratkan guru wajib memenuhi 24 jam mengajar per pekan di sekolah untuk dapat mencairkan tunjangan profesi. Namun, implementasi kurikulum baru mengakibatkan beban mengajar guru di sekolah pada pelajaran tertentu berkurang.

Penambahan jam belajar di kelas menambah persoalan lain. Meski jumlah mata pelajaran berkurang, penerapan Kurikulum 2013 memberikan konsekuensi penambahan jam belajar rata-rata empat jam per minggu untuk setiap jenjang pendidikan, mulai dari SD hingga SLTA. Tambahan jam belajar itu mencuatkan polemik jadwal hari sekolah dari lima hari menjadi enam hari dalam seminggu.

Di Jakarta, misalnya, Dinas Pendidikan DKI berencana menerapkan enam hari masuk sekolah untuk sekolah-sekolah yang biasanya libur pada Sabtu. Dengan demikian, siswa tidak harus pulang sore jika sekolah selama enam hari. Rencana itu menuai reaksi sejumlah kalangan, terutama para orangtua murid. Bahkan, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengaku kurang setuju dengan rencana penerapan enam hari masuk sekolah itu karena dengan masuk hingga Sabtu, para siswa akan kekurangan waktu bersama keluarga. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun akhirnya mengambil keputusan untuk membatalkan rencana pemberlakuan enam hari sekolah itu.

Sejatinya persoalan itu tak beranjak jauh dari tahun lalu. Awal penerapan Kurikulum 2013 pada tahun ajaran lalu terlihat kedodoran. Menurut rencana, Kurikulum 2013 akan diberlakukan pada 30 persen SD kelas I dan IV di setiap kabupaten/kota di semua provinsi. Sementara untuk SLTP dan SLTA diberlakukan di kelas VII dan X di semua sekolah. Namun, belakangan rencana itu berubah dan hanya diterapkan di 6.325 sekolah atau hanya dua persen dari total sekolah.

Saat penerapan awal itu muncul persoalan minimnya pelatihan guru dan keterlambatan buku teks. Dari sisi pelatihan, misalnya, Kemdikbud mengklaim telah melatih 61.074 guru yang terdiri dari 572 instruktur nasional, 4.740 guru inti, dan 55.762 guru sasaran. Namun, dalam praktik, pelatihan itu terkesan mendadak dan waktu pelaksanaannya hanya 33 jam serta mepet dengan dimulainya ajaran baru.

Tak hanya pelatihan guru yang kedodoran, Kemdikbud juga mengklaim 95 persen buku-buku untuk keperluan penerapan Kurikulum 2013 telah didistribusikan di seluruh Indonesia. Namun, pendistribusian ke beberapa sekolah yang ditunjuk pemerintah belum merata.
Terburu-buru

Pangkal persoalan kurikulum itu tak bisa lepas dari penyusunan Kurikulum 2013 yang terburu-buru. Meski pemerintah mengklaim penyusunan Kurikulum 2013 dimulai sejak 2010, kenyataannya rencana itu baru terungkap akhir 2012 dan langsung diterapkan pada 2013 di 6.325 sekolah SD-SLTA, terutama yang berakreditasi A.

Penerapan awal kurikulum itu menuai pro-kontra. Pihak yang mendukung pemerintah menilai, kurikulum sebelumnya sangat membebani siswa. Selain jumlah mata pelajaran terlalu banyak, substansinya kurang menekankan pada pembentukan karakter siswa sehingga tawuran, plagiarisme, dan berbagai perilaku negatif lain masih melekat dengan siswa. Sebaliknya, pihak yang menolak Kurikulum 2013 menilai, substansi kurikulum itu bagus tetapi penerapannya tergesa-gesa.

Substansi Kurikulum 2013 dinilai bagus oleh sejumlah kalangan karena memakai pendekatan tematik integratif. Pola pengajaran tidak lagi berdasarkan mata pelajaran secara spesifik, tetapi berdasarkan tema. Tujuan akhirnya adalah kompetensi lulusan peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.

Pola ini membawa konsekuensi, beberapa mata pelajaran dihapus atau digabung menjadi satu tema. Perubahan ini berdampak pada jumlah mata pelajaran lebih sederhana. Namun, penggabungan mata pelajaran ”menghilangkan” pengakuan terhadap kompetensi guru mata pelajaran tertentu. Alhasil, di kalangan pengajar muncul kekhawatiran hilangnya tunjangan profesi guru yang selama ini diberikan pemerintah. (LITBANG KOMPAS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com