Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pendidikan Ekstrem dan Konsep "Unggul atau Mati" di Korea

Kompas.com - 23/09/2014, 10:48 WIB
Budi Suwarna,
Hamzirwan

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Jika tidak jadi manusia yang unggul, kami akan mati. Itulah prinsip yang dipegang bangsa Korea Selatan yang miskin sumber daya alam dan secara geopolitik dikepung empat kekuatan besar: Tiongkok, Rusia, Korea Utara, dan Jepang.

Seiring dengan pembangunan karakter, Korsel juga menggenjot pendidikan formal bangsanya. Pemerintah mewajibkan semua warga Korsel menempuh pendidikan dasar 12 tahun atau minimal hingga selesai SMA. Hasilnya, Korsel menjadi salah satu negara dengan angka melek huruf tertinggi di dunia.

Skor Pisa yang mengukur kemampuan siswa membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan tertinggi kelima di dunia pada 2012 versi OECD. Selain itu, 84,6 persen siswa laki-laki dan 82,4 persen siswa perempuan tamatan SMA melanjutkan ke sekolah tinggi atau universitas.

Di sekolah-sekolah, manusia Korsel benar-benar digodok. Kami berkesempatan menengok Daewon Foreign Languages School, salah satu sekolah berbahasa asing terbaik setingkat SMA yang berada di perbukitan sisi utara Seoul, awal September.

Kepala Sekolah Daewon Kim Il Hyoung yang kami temui di ruang kerjanya mengatakan, sekolahnya fokus memprioritaskan penguasaan bahasa asing oleh siswanya, antara lain Inggris, Jerman, Tiongkok, dan Spanyol. ”Siswa-siswa kami belajar bahasa ketiga di sini. Banyak di antara mereka yang kemudian kuliah di Harvard, AS atau Oxford, Inggris,” ujar Kim dengan nada bangga.

Ketika kami datang, sejumlah murid perempuan sedang memainkan kenchi—benda berbahan kulit sebesar uang logam yang diikat beberapa helai bulu angsa—dengan kakinya. Murid laki-laki bermain basket dengan riang. Beberapa murid yang berpapasan dengan kami segera menundukkan kepala dan sedikit membungkukkan badan sebagai tanda hormat.

Jam bermain dan olahraga barangkali jam paling menyenangkan buat murid-murid itu. Selanjutnya, mereka harus berkutat dengan berbagai pelajaran sepanjang hari dari pagi hingga malam.

Mereka sudah ada di sekolah pukul 07.40 dan mulai belajar pukul 08.20. Jam pelajaran baru selesai pukul 19.30. Artinya, mereka berada di sekolah rata-rata 11 jam 10 menit. Tidak heran jika Korsel sempat dinobatkan sebagai negara dengan jam pelajaran sekolah terlama di dunia.

Jam pelajaran sepanjang itu pun dianggap belum cukup. Saat kelas berakhir, sebagian siswa melanjutkan kegiatan dengan belajar bersama di aula. Bus sekolah lalu mengantar mereka pulang pukul 22.30. Mereka yang tidak belajar di aula sebagian pergi ke tempat les buat belajar lagi hingga larut malam.

Satu-satunya jalan untuk sukses

Direktur Konseling Daewon Eric Cho mengatakan, jam pelajaran sebelumnya lebih panjang lagi. Dulu, kelas baru berakhir pukul 21.45 dan murid masuk sekolah pada Sabtu. Masa-masa itu memang sangat berat, lanjut Eric, tetapi orang Korsel harus menjalaninya. Sebab, mereka sadar, pendidikan satu-satunya jalan untuk sukses.

Sistem pendidikan yang begitu keras bukannya tanpa ekses. Banyak anak yang tak tahan dengan tekanan pelajaran akhirnya memilih bunuh diri. Belakangan ini, pemerintah mencoba memperbaiki sistem pendidikan yang kelewat ekstrem.

”Bulan ini, mereka (pemerintah) mencoba jam pelajaran sekolah dasar dimulai pukul 09.00 sehingga anak-anak punya waktu lebih untuk tidur dan sarapan bersama orangtua. Lembaga kursus swasta di Hagwan juga harus tutup pukul 21.00 demi kesehatan anak-anak,” ujar Eric.

Begitulah jalan yang ditempuh Korsel untuk mengubah nasib dari bangsa miskin menjadi kaya, bangsa yang pernah kalah menjadi bangsa pemenang. Mereka membentuk karakter dan mendidik manusianya dengan amat keras agar bisa menjadi bangsa yang unggul.

”Buat kami, sukses pendidikan itu adalah masalah hidup dan mati,” ujar Lee Kang-hyun, Presiden Korean Chamber of Commerce in Indonesia, akhir Agustus.

Catatan:
Tulisan ini merupakan bagian kedua dari dua bagian tulisan, yang semula merupakan satu tulisan utuh dari Harian Kompas edisi Senin (22/9/2014) berjudul "Revolusi Mental" ala Negeri Ginseng, karya Budi Suwarna dan Hamzirwan. Bagian pertama tulisan ini berjudul Cerita 3 Lelaki dan "Revolusi Mental" ala Negeri Ginseng.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com