Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pendidikan dan Kebudayaan

Kompas.com - 07/11/2014, 21:41 WIB
Oleh: Daoed Joesoef

KOMPAS.com - SETELAH menanti selama sepekan penuh, the longest week that ever exist, Presiden Joko Widodo mengumumkan komposisi pemerintahannya. Setelah menyaksikan di layar televisi susunan Kabinet Kerja-nya, saya sangat kecewa.

Presiden cum pemimpin baru Indonesia betul-betul telah keliru memahami ”pendidikan” dan ”kebudayaan”, yang saya pikir bukan merupakan konsen saya saja, melainkan adalah masalah masa depan Indonesia selaku satu negara-bangsa.

Padahal, dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Tanah Air tercatat jelas bahwa Indonesia adalah satu-satunya bangsa yang sewaktu masih dijajah berani mendirikan sekolah bersistem nasional berhadapan dengan sekolah kolonial Belanda. Sekolah nasional itu adalah Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta. Ada Indonesische Nijverheid School yang didirikan Moh Syafei di Kayu Tanam dan Normal School yang didirikan oleh Willem Iskander di Tano Bato.

Semua lembaga pendidikan nasional tersebut secara esensial membelajarkan aneka pengetahuan yang dikemas dalam budaya nasional dan bermental perjuangan kemerdekaan. Dengan kata lain, para pendiri bangsa itu sama-sama berpendirian bahwa pendidikan adalah bagian dari kebudayaan. Bagian dari sistem nilai yang dihayati oleh manusia. Pendidikan bertugas mengembangkan manusia menjadi pencipta nilai dan pemberi makna pada nilai.
Satu menteri

Kini pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla memecah belah keutuhan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Yang dibenarkan masih ”berbudaya” adalah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, sedangkan sempalannya, pendidikan tinggi, digabung ke Kementerian Riset dan Teknologi, tanpa kebudayaan. Kebijakan ini sungguh merisaukan karena kekeliruan kecil bisa berakibat besar yang tak terelakkan, suatu bahaya fatal yang dahulu sudah diingatkan oleh Aristoteles.

Betapa tidak. Pendidikan adalah satu keseluruhan walaupun dibuat berjenjang, secara formal sejak TK hingga S-3. Pendidikan (education) beda dengan persekolahan (schooling). Persekolahan mengurus (memikirkan) semua bahan pelajaran yang diperlukan oleh anak didik untuk mampu survive dalam menempuh kehidupan.

Pendidikan bertanggung jawab atas perkembangan keseluruhan pribadi anak—the development of the whole child. Maka, penting sekali bahwa pendidikan formal anak bangsa ditetapkan di bawah tanggung jawab satu orang menteri, siapa pun dia.

Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi tidak dikaitkan dengan kebudayaan. Lalu, bagaimana dengan ”nasib” Fakultas Ilmu Budaya, Akademi Seni Rupa dan Musik serta Karawitan, serta Fakultas Seni Rupa dan Desain dari ITB, yang notabene membelajarkan teknologi? Bukankah semua lembaga pendidikan yang disebut tadi tergolong pada perguruan tinggi? Apakah akan dimatikan begitu saja? Kalau dibiarkan hidup, mereka ”berinduk” ke mana? Masak urusannya akan diserahkan begitu saja kepada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, yang masih ”berbudaya”.

Proses pendidikan tinggi di mana pun di dunia berusaha menghasilkan ”budayawan” (man of culture), bukan ”ilmuwan” (man of science), walaupun tidak selalu dinyatakan secara eksplisit. Sebab, ilmu pengetahuan tanpa budaya bisa tergelincir ke teknologi (applied science) yang menghancurkan manusia itu sendiri.

”It is not the business of science to inherit the earth,” kata Prof Bronowski, ”but to inherit the moral imagination; because without that, man and belief and science will perish together.”

Sementara yang konsen pada moral dan moralitas adalah budaya, sebagai salah satu nilai yang terus-menerus menjadi urusannya para excellence. Dan, kita selaku satu bangsa diniscayakan mengembangkan kebudayaan demi bisa mencapai peradaban. Bukankah sila kedua dari Pancasila berbunyi: ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Unsur yang membentuk peradaban adalah kebijakan, pengetahuan, dan keindahan.

Ini bukan berarti bahwa riset tidak perlu. Kita menghadapi masa depan dengan suatu senjata yang tidak dikenal oleh penguasa negeri puluhan tahun yang lalu. Senjata ini berupa pengetahuan ilmiah dan kapasitas menyempurnakannya tanpa batas melalui riset ilmiah pula. Sejauh yang mengenai Indonesia dewasa ini, hal ini dapat dilaksanakan di lingkungan satu lembaga formal, yaitu Kemendikbud.

Kementerian ini membawahi kegiatan pendidikan tinggi yang sudah mengurus pendidikan penelitian dan pengabdian masyarakat. Kalau kegiatan penelitian ini perlu lebih diintensifkan dan, karena itu, dianggap perlu ada Kementerian Riset tersendiri, silakan saja. Namun, jangan merusak lembaga yang sudah berjalan.

Kementerian Riset seharusnya memanfaatkan lembaga-lembaga riset yang sudah ada, yaitu LIPI, BPPT, bila perlu Bappenas. Sambil lalu perlu dipertanyakan apakah pemecahan Kemendikbud sudah dikonsultasikan lebih dahulu pada Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)?

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com