JAKARTA, KOMPAS.com — Kompetensi riil peserta didik tak bisa hanya dilihat dari hasil ujian sekolah yang akan menjadi penentu kelulusan. Perlu beragam penilaian kelas agar informasi mengenai capaian peserta didik lebih lengkap. Ujian sekolah sebaiknya hanya jadi salah satu kriteria penentuan kelulusan dan proporsinya lebih kecil dibandingkan dengan penilaian kelas sejak semester pertama.
Hal ini dikemukakan oleh pakar evaluasi pembelajaran dari Universitas Muhammadiyah, Prof Dr Hamka (Uhamka) Elin Driana, Selasa (6/1), di Jakarta. ”Kapasitas guru untuk mengembangkan dan menerapkan beragam model penilaian kelas perlu ditingkatkan lewat pelatihan. Paradigma penilaian semestinya ditekankan pada assessment as learning dibandingkan assessment of learning yang dominan saat ini. Assessment as learning lebih berperan mengarahkan siswa menjadi pembelajar sepanjang hayat,” kata Elin.
Hal senada dikatakan Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Djaali saat ditemui di ruang kerjanya. Untuk menentukan kelulusan peserta didik harus dilihat dari semua komponen atau aspek. Tidak bisa hanya dari satu aspek apakah itu ujian sekolah atau ujian nasional (UN). Ini berarti penilaian guru harus menjadi komponen penentu kelulusan peserta didik.
”Harus diingat, yang lebih dibutuhkan adalah kompetensi peserta didik. Bukan masalah lulus atau tidaknya. Kompetensi penting untuk menyiapkan anak dalam menghadapi kehidupan nyata,” kata Djaali.
Sesuai undang-undangUjian sekolah yang menjadi penentu kelulusan, kata guru SMA Negeri 17 Jakarta, Suparman, telah sesuai dengan amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 58 Ayat (1) yang menyebutkan evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik atau guru. Pasal 61 ayat (2) menyebutkan, ijazah diberikan kepada peserta didik setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan.
”Ujian sekolah justru mampu menilai kompetensi anak sesuai karakter dan keunikan profesinya, karena penilaian secara komprehensif mencakup penilaian ranah kognitif, psikomotorik, dan afektif,” kata Suparman.
Adapun UN hanya mengedepankan aspek kognitif. Suparman menilai, guru sebenarnya sudah terbiasa dengan penilaian lokal sekolah sehingga tidak perlu ada proyek untuk memasuki perubahan yang akan ada. Sekolah cukup membuat komitmen bersama untuk melaksanakan sistem penilaian sekolah yang obyektif dan berprinsip pada potensi anak dan komprehensif.
”Perubahan ini tidak memerlukan proyek diklat yang berlebihan. Asosiasi-asosiasi profesi guru seperti musyawarah guru mata pelajaran perlu diberdayakan kembali,” kata Suparman.
Ia juga mengingatkan agar masyarakat tidak khawatir guru dan sekolah akan mengatrol nilai peserta didik. Opini seperti itu justru mengabaikan sistem penilaian yang komprehensif dan menunjukkan kecurigaan yang berlebihan kepada guru. Perbaikan nilai terhadap anak setelah melalui proses mengulang adalah hal biasa dalam kerja profesional guru.
”Jadi apakah siswa yang lulus atau tamat sekolahnya setelah melaksanakan remedial atau mengulang dan mencapai kompetensi disalahkan? Tentu tidak,” kata Suparman. (
)