Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Guru-guru Magang di Pedalaman

Kompas.com - 09/02/2015, 15:01 WIB


Oleh: Ester Lince Napitupulu

JAKARTA, KOMPAS - Jumlah guru di Indonesia diklaim melimpah, bahkan disebut rasio nasional kita berkisar 1 guru berbanding dengan 17 murid. Namun, penyebaran guru masih tidak merata, apalagi kualitas sebagian dari mereka masih di bawah standar. Inilah salah satu biang masalah yang menghambat kemajuan pendidikan di negeri ini.

Namanya Marthen Windi R (28). Sejak 2012, pemuda ini diajak menjadi guru magang di Sekolah Dasar Padengi Iwi, Kecamatan Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Ini sekolah yang baru dibuka bagi anak-anak di daerah terpencil.

Setelah sekolah menengah program pertanian, sebenarnya Marthen merantau ke Kalimantan untuk bekerja di perkebunan. Namun, dia kemudian balik ke kampung halamannya dan kemudian diajak menjadi guru. Kebetulan, dia juga sedang kuliah tahun pertama program studi Pendidikan Guru SD di Universitas Terbuka di Kota Waingapu.

SD Padengi Iwi, tempat pemuda tersebut mengajar, hanya punya satu guru PNS. Itu pun dia harus merangkap sebagai pelaksana tugas kepala sekolah. Namanya Martinus Umbu Tali.

Tanpa bekal ilmu menjadi guru dan tanpa pengalaman, Marthen tentu saja kalang kabut saat harus berdiri di depan para murid. Apalagi, dia secara bergantian harus mengajar siswa kelas I, II, dan III di satu ruangan berdinding bambu, berukuran 8 meter x 4 meter. Tahun 2015 ini, sekolah baru mendapat bantuan untuk membangun ruang kelas.

"Dengan kebingungan, saya datang ke sekolah. Yang penting ada guru. Saat saya bicara di depan kelas, ada anak yang naik di atas meja. Saya tidak bisa mengendalikan ruang kelas. Sempat putus asa," katanya pada akhir tahun 2014.

Namun, Marthen yang digaji Rp 750.000 per tiga bulan dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) itu memilih bertahan. Anak-anak kecil tersebut harus bersekolah di kampungnya meskipun wujud bangunan sekolah itu ala kadarnya. Para orangtua tak rela jika anak-anak harus menembus hutan dengan jarak sekitar 7 kilometer demi bersekolah di SD yang lebih
baik.

Kesabaran pemuda tersebut berbuah manis. Anak-anak mulai merindukan sosok guru untuk mengajari mereka. Justru kini guru magang itu yang kebingungan. Soalnya para siswa di SD tersebut lebih fasih berbahasa daerah dibandingkan dengan bahasa Indonesia.

Kesulitan Marthen teratasi ketika akhirnya tahun 2014 dia diajak ikut latihan kepemimpinan transformasional guru. Dia bertemu dengan pelatih dan guru-guru lain yang memperkenalkannya pada cara mengajar kreatif di tengah keterbatasan sarana dan prasarana sekolah.

Kisah lain datang dari SDN Bidi Praing, Kecamatan Kambera, masih di Nusa Tenggara Timur. Sekolah ini sangat terbantu dengan kehadiran guru magang. Guru magang yang mengabdi dengan baik bisa diajukan menjadi guru honor dengan gaji dari komite sekolah atau tambahan gaji dari dinas pendidikan setempat.

"Saya delapan tahun menjadi guru honorer. Setelah lulus kuliah Universitas Terbuka, baru diangkat menjadi guru honorer tetap. Saya tidak masalah jadi guru honorer karena di pemerintah di sini biasanya ada pengangkatan untuk jadi guru PNS nantinya," kata Herlince Rambu Hamu (25), guru honorer di SDN Bidi Praing.

Pemudi itu digaji Rp 250.000 per bulan dari dana BOS yang dibayarkan per tiga bulan. Padahal, untuk menuju sekolah saja dia menghabiskan Rp 20.000 per hari untuk biaya ojek karena tidak ada angkutan umum. "Saya mengajar untuk kumpul pengalaman dulu," kata Herlince. Dia punya nomor unik pendidik tenaga kependidikan (NUPTK) sehingga dapat tambahan Rp 350.000 per bulan dari pemerintah daerah.

Masih bermasalah

Kisah Marthen dan Herlince tadi menggambarkan bahwa proses belajar-mengajar di kelas tidaklah semanis data rasio guru di atas kertas. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat, jumlah guru di Indonesia cukup melimpah. Namun, di lapangan, penyebaran para guru ke daerah-daerah belum merata. Kualitas sebagian guru juga masih memprihatinkan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com