Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perkembangan Bioteknologi Sulit Dibendung

Kompas.com - 15/01/2016, 12:18 WIB
Latief

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Kamis (14/1/2016), meluncurkan pusat kajian bioteknologi. Pusat kajian tersebut diharapkan menjadi wadah kegiatan tidak hanya para dosen, namun juga mahasiswa di bidang bioteknologi untuk memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.

"Nantinya pusat kajian ini akan menjadi centre of excellence kami. Paling tidak saat ini kami punya tiga fakultas yang berkaitan dengan bioteknologi, yaitu Fakultas Biologi, Pertanian dan Kesehatan. Kompetensi tersebut akan terus kami kembangkan," ujar Wakil Rektor Bidang Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat dan Kerjasama Universitas Nasional, Prof Ernawati Sinaga, usai seminar bioteknologi bertema "Status Indonesia Terkini Menghadapi Komersialisasi Tanaman Bioteknologi".

Dia mengatakan, ke depan perkembangan teknologi di bidang bioteknologi semakin tidak dapat dibendung. Teknologi tersebut telah berkembang sejak 30 tahun lalu, namun di Indonesia baru mulai dikenal sejak 15 tahun lalu.

"Indonesia mau tidak mau harus dapat menerima teknologi ini di negaranya," kata Ernawati.

Sementara itu, Kepala Pusat Kajian Bioteknologi Universitas Nasional, Dr Retno Widowati mengatakan bahwa kesadaran komersialisasi tanaman bioteknologi di negara berkembang kini semakin tinggi. Hal itu bisa dilihat dari meningkatnya lahan tanaman bioteknologi di negara berkembang belakangan ini.

Luas lahan tanaman biologi saat ini meningkat 100 kali lipat dari 1,7 juta hektar pada 1996 menjadi 181,5 juta hektar pada 2014. Sementara itu, jumlah negara penanam tanaman biotek meningkat 4 kali lipat lebih dari 6 negara di tahun 1996 menjadi 28 negara di tahun 2014.

Retno menuturkan, saat ini Amerika Serikat (AS) masih menempati negara teratas yang menanam tanaham bioteknologi dengan luas 73,1 juta hektar atau 40 persen luas lahan tanaman bioteknologi di dunia. AS mengadopsi tanaman bioteknologi terbanyak pada jagung (93%), kedelai (94%) dan kapas (96%).

"Negara berkembang seperti Brazil bahkan sudah mencetak rekor baru di 2014 dengan peningkatan luasan tanaman biotek sekitar 1,9 juta hektar dari tahun 2013. Mereka menduduki peringkat kedua selama enam tahun berturut-turut di bawah AS," ujarnya.

Sementara itu, lanjut dia, negara miskin Bangladesh, telah menyetujui komersialisasi Terong Bt Brinjal pada 30 Oktober 2013 silam. Berselang kurang dari 100 hari setelah persetujuan, para petani kecil menanam Terong Bt pada 22 Januari 2014. Adapun India mencatat 11,6 juta hektar lahan tanaman bioteknologi dan memiliki laju adopsi 95% untuk kapas bioteknologi.

"Beberapa institusi penelitian di Indonesia sendiri telah mengembangkan tanaman bioteknologi. Secara komersial upaya penanaman tanaman ini sedang menjalani pengkajian keamanan hayati oleh Komisi Keamanan Hayati dan tim teknisnya," kata Retno.

Retno menambahkan, Pemerintah masih berhati-hati untuk masalah tersebut. Pasalnya, sekali sudah dilepas, menurut dia, tidak dapat ditarik kembali.

"Tapi, status ini penting untuk para peneliti, karena para peneliti pasti akan lebih bergairah jika ada kejelasan tentang masa depan bioteknologi di Indonesia," ujarnya.

Ketua Kontak Tani Andalan (KTNA), Winarno Thohir, sepakat dengan Retno. Menurut Thohir,
kejelasan status tersebut juga ditunggu oleh para petani. Dia mengatakan para petani tengah menunggu political will pemerintah terkait tanaman bioteknologi itu.

"Mereka berharap bioteknologi bisa diterapkan di Indonesia. Untuk menjaga kedaulatan pangan, Indonesia butuh Genetic Revolution, karena lahan yang tersedia hanya lahan-lahan marjinal, dan ekstensifikasi sudah tidak memungkinkan lagi," ujar Thohir. 

Thohir melanjutkan, bioteknologi merupakan inovasi untuk mengatasi perubahan iklim. Teknologi itu bisa dirakit sesuai kebutuhan petani. 

"Kandungan nutrisinya bisa dirakit agar lebih  baik, berumur pendek dan mengurangi pupuk kimia serta pestisida," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com