Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Mahasiswa Sesat

Kompas.com - 26/02/2016, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Ketika saya punya keluangan waktu dan dana, saya sengaja menyempatkan diri berkunjung ke kampus-kampus. Ada banyak mahasiswa tersesat di kampus-kampus. Saya tahu itu sejak dulu, saat saya masih jadi dosen tetap.

Di hari pertama kuliah biasanya saya ajukan pertanyaan kepada para mahasiswa,”Apa tujuanmu kuliah?”

Kebanyakan dari mereka gagap dalam menjawab pertanyaan ini. Mereka tak tahu untuk apa mereka kuliah. Sebagian menjawab klise, untuk menuntut ilmu.

Tapi pertanyaan saya konkret, kamu mau jadi apa? Nanti setelah lulus akan bekerja sebagai apa? Sebagian besar tidak menyadari bahwa kelak mereka harus bekerja sebagai manusia mandiri.

Lalu mengapa kuliah? Sebagian karena disuruh orang tua. Sebagian yang lain karena tak tahu mau melakukan apa selepas tamat SMA. Atau sekadar ikut-ikutan saja.

Mereka ini kemudian hanya memperpanjang masa sekolah, atau menunda masa menganggur. Setelah lulus, akan jadi pengangguran.

Ada begitu banyak orang tua yang mengirim anaknya kuliah, juga tanpa tujuan. Pokoknya kuliah, punya gelar sarjana kalau kelak lulus. Kalau sudah sarjana, pasti dapat pekerjaan. Sarjana pasti cerah masa depannya.

Di masa lalu memang begitu. Sarjana muda saja pun sudah bisa bekerja. Para orang tua ini tak menyadari bahwa zaman sudah berubah. Kini sudah banyak, bahkan sangat banyak sarjana menganggur.

Di suatu ceramah oleh Kepala BKKBN disampaikan data bahwa hanya 1 dari 7 lulusan sarjana yang mendapat pekerjaan.

Para orang tua beranggapan bahwa semua anak harus kuliah. Mereka juga beranggapan bahwa kuliah harus mendapat gelar. Maka banyak orang tua yang memaksa anak-anaknya kuliah, tanpa memperhatikan kemampuan intelektual sang anak, serta minatnya.

Dulu ada teman saya yang saya kenal betul tingkat kecerdasannya. Mohon maaf, sangat rendah. Tapi kebetulan orang tuanya kaya. Sang anak dikuliahkan. Hasilnya, selama kuliah anak itu hanya hura-hura menghabiskan harta orang tuanya.

Dalam sebuah ceramah di sebuah kampus di Mataram seorang mahasiswa mengeluh. “Saya ini tak berminat kuliah, Pak. Saya mau berbisnis. Tapi orang tua saya memaksa. Saya masuk kuliah asal saja, lalu masuklah saya ke jurusan fisika. Padahal saya sama sekali tak berminat dengan bidang ini.”

Saya ke kampus dengan tujuan membawa pesan dari dunia nyata kepada para mahasiswa. Dunia nyata adalah dunia kerja, di mana setiap orang dituntut dengan suatu tanggung jawab, dan di mana orang harus berkompetisi.

Kompetisi dimulai sejak di pintuk masuk ke dunia itu. Yang kalah tak akan bisa masuk, dan harus berada di dunia nyata yang lain, yaitu dunia pengangguran.

Ada mahasiswa yang sadar bahwa mereka harus masuk ke dunia kerja. Tapi mereka sama sekali tak mengenal dunia itu, dan tidak mempersiapkan diri untuk bersaing di pintu masuknya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com