Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Ijazah Kosong

Kompas.com - 29/02/2016, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Di perusahaan tempat saya bekerja dulu ada beberapa orang operator mesin yang berijazah sarjana. Suatu hari salah seorang di antara mereka datang kepada saya untuk protes.

“Gaji saya kok disamakan dengan karyawan lain yang lulusan SMA. Padahal saya sarjana.”

“Pekerjaan dan posisi yang kamu tempati itu memang dibuka untuk lulusan SMA. Kalau mau gaji yang lebih tinggi, kamu harus cari pekerjaan untuk lulusan sarjana.”

“Tapi kan seharusnya ada tunjangan khusus untuk sarjana.”

“Tidak ada. Perusahaan memberi gaji atas dasar apa yang kamu kerjakan, bukan atas ijazahmu.”

Dia masih mencoba mendebat, tapi saya potong saja. “Dengar, ya. Saya ini punya ijazah doktor. Tapi gaji saya ya gaji manager, sama seperti gaji manager lain. Tidak ada tunjangan khusus. Kalau kamu merasa kamu punya kelebihan dibanding operator lain, tunjukkan dengan kerja. Kalau kualitas kerja kamu memang berbeda, nanti akan saya naikkan gaji kamu.”

Banyak orang mengira perusahaan itu seperti kantor pemerintah yang menetapkan gaji berdasarkan tingkat ijazah. Pegawai di suatu golongan boleh meminta kenaikan pangkat bila mendapat ijazah dengan tingkat lebih tinggi. Basis penilaiannya hanya ijazah itu. Makanya banyak orang sekolah lagi untuk mencari selembar ijazah.

Mengapa ada sarjana yang bekerja sebagai operator? Tidakkah ada pekerjaan  yang sesuai dengan pendidikannya? Ada, banyak. Besar kemungkinan dia sudah melamar dan ikut tes di banyak tempat, tapi tidak lolos. Akhirnya ia terpaksa bekerja sebagai operator.

Ada begitu banyak sarjana tanpa kompetensi. Tak sedikit dari mereka yang jadi pengangguran. Orang menyebut mereka pengangguran terdidik. Saya lebih suka menyebut mereka pengangguran berijazah.

Pendidikan yang mereka lewati tidak menimbulkan bekas, karena itu tak begitu patut kalau mereka disebut terdidik.

Mengapa bisa ada sarjana seperti ini? Pertama, karena secara intelektual mereka sebenarmya memang tidak masuk kualifikasi bisa kuliah.

Pola pikir masyarakat yang menganggap sarjana itu hebat membuat orang-orang yang tak mampu secara intelektual pun memaksakan diri untuk kuliah.

Waktu saya jadi dosen, masih banyak saya temukan mahasiswa fakultas teknik yang tidak paham definisi sinus cosinus. Bahkan tidak sedikit yang gagap dengan penjumlahan pecahan. Tapi kenapa bisa lulus tes masuk? Entahlah. Lebih ajaib lagi, mereka bisa lulus sarjana.

Perguruan tinggi berlomba menerima mahasiswa dan memproduksi sarjana. Orang-orang yang tidak lulus seleksi masuk, diterima di program ekstensi. Orang yang sebenarnya tidak punya kemampuan akademik memadai, bisa kuliah dengan membayar lebih.

Di level S2 juga begitu. Saya pernah mengajar di suatu program S2, dan sepanjang semester saya heran tak habis-habis melihat kemampuan intelektual para mahasiswa program itu.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com