Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Lolos dari Lubang Jarum

Kompas.com - 02/03/2016, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata
Saya punya teman yang sekarang jadi profesor di UI. Kami dulu sama-sama kuliah di Tohoku University, Sendai. Saya menganggap dia junior saya. Umurnya 7 tahun lebih muda, dan saya juga lebih dahulu tiba di Sendai.

Salah satu kenangan yang selalu saya ingat tentang dia adalah saat dia baru pertama kali datang ke Sendai. Seorang anak muda yang baru berumur 22 tahun, baru lulus kuliah, dan tentu saja bujangan, tiba di negeri orang.

Saya waktu itu sudah menikah, dan tinggal bersama istri saya di apartemen dormitori. Teman saya ini menempati kamar untuk para bujangan.

Salah satu hal yang segera dirasakan oleh perantau baru di negeri orang adalah kerinduan pada masakan Indonesia. Sebagai bujangan yang tidak pandai memasak, tentu soal itu jadi masalah benar buat dia.

Maka sesekali kami undang dia untuk makan di apartemen kami, dengan suguhan masakan istri saya. Tentu saja masakan Indonesia.

Hari ini saya melihat wajah bahagia yang tak banyak berbeda dengan wajah bahagia saat dia menikmati masakan istri saya belasan tahun yang lalu.

Ada cerita yang lebih menarik tentang kawan saya ini. Dia datang ke Jepang melalui suatu program beasiswa.

Waktu itu dia bercerita bahwa sebenarnya dia tadinya “tidak lulus” pada program ini. Dia hanya lulus sebagai cadangan. Untungnya ada peserta yang mengundurkan diri, sehingga dia kemudian bisa masuk menjadi penerima beasiswa.

Ibaratnya, dia lolos dari lubang jarum ketika itu, dan itu menjadi salah satu titik penting dalam sejarah hidupnya.

Kemudian saya teringat pada perjalanan saya sendiri. Saya bukanlah mahasiswa cemerlang seperti teman saya yang jadi profesor tadi. Kalau saya bertarung untuk ikut seleksi penerima beasiswa boleh jadi saya akan gugur di seleksi administrasi, karena nilai kuliah saya rendah.

Tapi saya menemukan lubang jarum yang lain. Program beasiswa yang saya ikuti dulu baru berlangsung tahun pertama. Pengelolanya masih kalang kabut karena persiapan belum selesai, padahal tenggat waktu sudah dekat.

Akhirnya proses perekrutan dilakukan secara tertutup. Hanya beberapa kalangan yang dihubungi, dan rektor di universitas tempat saya bekerja ketika itu adalah salah satunya.

Kebetulan beliau sudah lama memberi perhatian khusus kepada saya karena saya dianggap berprestasi istimewa sebagai dosen muda ketika itu. Maka saya direkomendasikan untuk ikut seleksi.

Karena pendaftar tidak banyak, tidak dilakukan seleksi administratif. Semua pelamar (hanya 6 orang) diwawancarai. Jadi IP saya yang rendah itu tak jadi soal.

Saya bisa menangani wawancara dengan baik, akhirnya lulus mendapat beasiswa. Saya sendiri yang lulus ketika itu, meski jatah untuk Indonesia ketika itu adalah 2 orang.

Meski dengan jalur yang berbeda, saya dan teman saya tadi itu adalah dua orang yang lolos dari lubang jarum. Dalam logika umum, sulit bagi saya untuk dapat beasiswa kuliah ke luar negeri. Tapi ternyata ada kesempatan langka, dan itu saya manfaatkan dengan baik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com