Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Imelda Bachtiar

Alumnus Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia (UI) tahun 1995 dan Pascasarjana Kajian Gender UI tahun 2010. Menulis dan menyunting buku bertema seputar memoar dan pemikiran tokoh berkait sejarah Indonesia, kajian perempuan, Peristiwa 1965 dan kedirgantaraan. Karyanya: Kenangan tak Terucap. Saya, Ayah dan Tragedi 1965 (Penerbit Buku Kompas-PBK, 2013), Diaspora Indonesia, Bakti untuk Negeriku (PBK, 2015); Pak Harto, Saya dan Kontainer Medik Udara (PBK, 2017); Dari Capung sampai Hercules (PBK, 2017).

Yang "Mencari Rumah Nenek Moyang di Tiongkok" Itu Berusia 89 Tahun dan Bugar

Kompas.com - 15/03/2016, 11:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnu Nugroho


Bila ada yang berpendapat profesi menulis, meneliti dan menelusuri sejarah itu kurang berkilau dan susah ditekuni mengingat imbalannya tipis, mereka patutnya malu pada Myra Sidharta.

Hampir 50 tahun ia menekuni dunia menulis dan meneliti, khususnya tentang kebudayaan Tionghoa totok dan peranakan Tionghoa di Indonesia. Minggu ini, tepat 89 tahun usianya, dan ia tak pernah bosan merekam fenomena hidup di sekitarnya melalui tulisan.

Jejak menulisnya sangat panjang. Salah satunya buku yang rilis tahun lalu, tepat di usianya yang ke-88, Seribu Senyum dan Setetes Air Mata (Penerbit Buku Kompas, 2015), bertutur bagaimana setianya Myra menulis dalam rekam kumpulan tulisan selama 28 tahun (1983-2011).

Minggu ini, gerbang usia 89 tahun dijelangnya, usia akhir di kelompok octogenerian. Tak terlihat semangat dan kegembiraan meluntur dari raut wajah perempuan yang akrab dipanggil “Moy” ini. Myra merasa justru lebih bebas mengerjakan banyak hal pada usianya yang sekarang.

Bangun pagi, ia mencek emailnya, lalu bersiap untuk menulis. Lalu menjelang siang mulai berangkat bersama Toni, supir yang setia menemaninya ke mana pun. Kadang ke sebuah rapat, atau sekadar ke supermarket membeli kebutuhan mingguan.

Semua dilakukannya seorang diri, karena ada alat bantu berjalan tongkat beroda yang sangat disukainya. Sampai banyak orang di supermarket menanyakannya, tetapi Myra seringkali dengan ramah balik bertanya, “Memang tidak boleh ya saya berjalan sendirian?”

“Sekarang mata saya kurang kuat untuk mengetik lama di komputer. Mata harus istirahat dan empat jam sekali ditetesi obat. Juga punggung sering terasa lebih sakit bila duduk lama,” kata Myra sambil menyantap hidangan siangnya, dua sendok nasi merah dan lauk serba kukus, ditutup dengan pepaya iris.

Tetapi halangan fisik itu bukan berarti ia tak lagi berniat menulis buku. “Saya sedang mempersiapkan buku, mungkin baru selesai tahun depan. Ini tentang 12 orang Tionghoa-Indonesia dan berbagai perannya. Baru delapan. Pelan-pelan saya kumpulkan materinya setiap saya berjalan-jalan ke daerah,” kata Myra dengan mata berbinar.

Hakka dan Pulau Belitung
Myra yang bernama lahir Ew Yong Tjhoen Moy ini lahir di Tanjung Pandan, Belitung, Kepulauan Bangka Belitung, 6 Maret 1927. Myra menyebut dirinya adalah seorang “Tionghoa Totok”, bukan peranakan, karena kakek dan ayahnya berasal dari Meixian, lokasi di sebelah utara Provinsi Guangzhou, Tiongkok.

Daerah yang indah alamnya ini, terkenal sebagai tempat asal orang-orang Tiongkok yang paling terpelajar dan mencintai kebudayaan.

Kakek Myra, seperti yang ditulisnya dalam “Mencari Rumah Nenek Moyang di Tiongkok” yang terbit pertama kali di Intisari tahun 1983, pergi meninggalkan Meixian pertama kali tahun 1872. Orang Hakka di Meixian merantau menuju Laut Selatan (Nanyang) dan kebanyakan membawa istri serta anak-anak, secara berkelompok tinggal menetap di tambang-tambang timah di Pulau Belitung. Di sanalah Myra dilahirkan tahun 1927.

Walaupun telah merantau, menurut Myra, orang-orang Hakka terbiasa mempertahankan adat budaya juga bahasanya. Itulah sebabnya kebanyakan mereka menyebut diri: totok, bukan peranakan.

“Jadi, Gubernur Ahok, pasti masih mempertahankan adat Hakka-nya,” kata Myra.

Meneliti, Menulis, Bertualang
Siang itu, ditemui di rumahnya yang asri di bilangan Bintaro Sektor 9, Myra bercerita soal minat menulis dan meneliti literatur selama ini, yang dia sering sebut sebagai petualangan. Menulis pertama kali dengan dasar dari literatur ilmiah, adalah saat kuliah psikologi di Rijks Universiteit, Leiden, Belanda, tahun 1950-an.

Itulah yang membuat Myra terbiasa menulis dengan rujukan, khas seorang akademisi. Ketika lulus tahun 1958, menyandang status psikolog lulusan Belanda, ia menjadi yang pertama sehingga akhirnya ikut merintis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com