Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Escape Velocity, Meninggalkan Mental Puas Diri

Kompas.com - 17/03/2016, 16:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata
Kita semua yang berada di muka bumi ini terikat oleh suatu gaya atau kekuatan, yaitu gravitasi. Cobalah Anda meloncat ke atas, maka Anda akan kembali jatuh ke bumi.

Lemparkan sesuatu ke atas, ia akan jatuh lagi. Pesawat terbang tinggi, akan mendarat di muka bumi. Kita semua terikat sangat erat oleh kekuatan maha besar yang benama gravitasi tadi.

 
Tapi kekuatan maha besar itu bisa dilawan. Bila kita mampu melempar sesuatu dengan kecepatan sebesar 40.270 km/jam dari permukaan bumi, maka benda tersebut akan bergerak ke atas, terus ke atas.

Kecepatannya akan berkurang secara perlahan oleh tarikan gravitasi bumi. Tapi ia masih akan cukup cepat untuk mencapai suatu titik di mana gravitasi bumi tidak lagi cukup kuat untuk menariknya kembali ke muka bumi.

Ia akan terbebas dari pengaruh gravitasi, melayang bebas di ruang angkasa. Dalam fisika kecepatan itu disebut kecepatan kabur, atau escape velocity.

 
Dalam kenyataan manusia bisa meninggalkan bumi, mencapai tempat yang bebas dari gravitasi bumi. Caranya tidak dilempar dengan kecepatan tinggi, tapi dengan membawa bekal tenaga, berupa bahan bakar roket.

Bahan bakar itu dibakar secara bertahap, diubah menjadi tenaga gerak yang dikeluarkan terus menerus, hingga titik gravitasi nol dicapai. Itulah yang dilakukan oleh para astronot.

 
Kita, bangsa Indonesia ini, masih berada dalam ikatan “gravitasi” kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Ekonomi kita masih belum cukup untuk membuat kita menjadi bangsa yang makmur, terlebih merata.

Sains dan teknologi kita masih tertinggal jauh, bahkan masih tertinggal bila sekedar dibandingkan dengan bangsa-bangsa yang sedang berkembang.

Cara berpikir kita, cara hidup kita, semangat dan etos kerja kita masih rendah. Lebih parah lagi, kita korup. Kita masih terbelakang.

 
Kita membutuhkan tenaga sebesar tenaga gerak benda yang bergerak dengan kecepatan kabur tadi untuk membawa kita lepas dari belitan persoalan-persoalan tadi. Pertanyaannya, bagaimana caranya? Caranya dengan membuat lompatan besar pada setiap generasi.
 
Saya teringat pada Emak dan Ayah saya. Emak saya buta huruf, tidak pernah sekolah. Ayah saya hanya sekolah sampai kelas 2 Sekolah Rakyat. Tapi saya, bisa sekolah sampai jenjang doktoral. Saudara-saudara saya ada yang jadi sarjana, juga S2. Ini adalah lompatan besar antar generasi.

Tidak hanya dalam tingkat pendidikan, tapi juga dalam hal kemakmuran. Emak dan Ayah memulai hidup dari sebuah gubuk di tepi hutan saat mereka mulai membangun kebun. Saat mereka tua, mereka sudah jauh lebih makmur.

Kami memulai hidup dengan tingkat kemakmuran yang Ayah dan Emak punyai, dan melanjutkan hidup lebih makmur lagi.

 
Ada banyak orang seperti saya. Berasal dari keluarga miskin di kampung, tumbuh berkembang menjadi lebih berpendidikan dan lebih makmur.

Tentu saja ada pula yang menurun. Orang tuanya makmur dan berpendidikan, anak-anaknya jauh di bawah taraf itu. Yang perlu kita lakukan adalah memperbanyak orang-orang yang meningkat, dan mencegah orang-orang untuk menurun.

 
Persoalan yang mungkin akan menggagalkan kita melakukan kabur atau escape adalah keterlenaan. Ketika kita sudah makmur, kita merasa sudah di puncak, lalu berhenti. Seharusnya kita bisa membuat lompatan lebih besar lagi, tapi kita tidak melakukannya. Kita berpuas diri.
 
Ada pelajaran penting yang bisa kita lihat saat ini, soal Jepang dan Korea. Jepang tadinya negara hebat. Korea tadinya adalah jajahan Jepang. Kini mulai mengalahkan Jepang di berbagai bidang.

Apa yang sedang terjadi? Korea adalah orang yang sedang mendaki. Mereka sedang bersemangat. Adapun Jepang, mereka sudah di puncak. Orang-orang yang sekarang membangun Jepang adalah generasi yang dibesarkan dalam lingkungan puncak. Mereka bukan para pendaki.

 
Celakanya, kita ini sering bermental orang puncak, bukan mental pendaki, saat kita belum benar-benar di puncak. Seperti saya tulis di atas, kita sudah berpuas diri sebelum waktunya.
 
Lebih celaka lagi, kalau kita memanjakan anak-anak kita. Kita mengira tugas kita selesai dengan menghidupi mereka dengan kemakmuran.

Lalu anak-anak kita menjadi anak-anak malas, yang di kemudian hari tidak tahu mereka akan hidup menjadi apa. Jadilah mereka generasi gagal. Gagal untuk sekedar mengulangi sukses orang tuanya.

Kalau ini terjadi secara massal, bangsa kita akan jadi roket gagal. Terbang sejenak, lalu jatuh tak berdaya, terhempas hancur di muka bumi. Kita jadi negara gagal.

 
Bagaimana mencegah ini semua? Pertama, teruslah berkarya. Teruslah belajar, mengasah diri, meningkatkan kemampuan, memperbaiki kemakmuran, dan meningkatkan kontribusi di bidang-bidang yang kita geluti.

Jangan pernah puas dengan pencapaian kita sekarang. Jangan merasa hebat. Jangan cepat-cepat jumawa, ingin terkenal, ingin dipuja dengan kontribusi kecil kita saat ini. Masih banyak yang harus kita kerjakan sebelum kita mati 20 atau 30 tahun lagi.

 
Kedua, siapkan anak-anak kita untuk membuat lompatan yang lebih besar dari yang sudah dilakukan oleh generasi kita. Kalau Emak saya buta huruf, saya bisa jadi doktor, setidaknya anak saya harus melakukan lompatan sebesar itu.

Tentu saja anak-anak saya tidak harus jadi doktor. Tapi mereka harus bisa berkontribusi jauh lebih besar dari yang sudah dan akan saya lakukan. Demikian pula anak-anak Anda semua.

 
Bagaimana caranya? Dengan pendidikan. Kita mulai dengan peran kita mendidik anak-anak kita di rumah, mendampingi mereka, memudahkan kesulitan-kesulitan mereka, menjadikan mereka pejuang tangguh. Tidak bisa tidak, kita harus menjadi guru bagi mereka.
 
Tapi mungkinkah? Kita dulu punya modal semangat besar karena kita miskin. Kini sebagian besar dari kita sudah makmur, bagaimana mendidik anak-anak untuk tetap bisa bersemangat? Bukankah hukum alam bahwa kalau kita sudah di puncak, kita akan cenderung loyo?
 
Tidak. Tidak ada hukum alam yang begitu bunyinya. Yang ada hanyalah kelalaian kita belaka. Mari kita pinjam filosofi puasa. Kita tidak perlu menjadi orang miskin untuk merasakan lapar. Kita melakukannya dengan berpuasa.

Sama halnya, kita tidak perlu menjalani hidup miskin agar anak-anak kita jadi pejuang tangguh. Kita hanya perlu menghindari hal-hal yang bersifat memanjakan, dan memberikan mereka hal-hal yang menumbuhkan semangat.

Detilnya tidak bisa saya tulis dalam tulisan singkat ini. Tapi intinya, masa depan bangsa ini di mulai dari rumah kita masing-masing.

 
Saya berharap kita semua mengingat itu setiap pagi saat kita bangun dari tidur, dan menjadikannya sebagai pengingat sampai kita tidur kembali di malam hari.

Kita bukan sekedar hamba-hamba perut yang bekerja untuk sekedar mengisi perut kita sehari-hari. Kita adalah mesin-mesin roket pendorong, yang harus membebaskan bangsa ini dari tarikan gravitasi kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.

Bangunlah setiap pagi dengan semangat itu!

Tulisan Hasanudin Abdurakhman lain bisa dibaca juga di http://abdurakhman.com

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com