Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Nasihat untuk Wisudawan

Kompas.com - 30/03/2016, 08:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Salah satu momen yang membuat saya bangga sebagai alumni UGM adalah ketika Sensei (profesor pembimbing) datang kepada saya dan berkata,

“Grup riset kita diberi jatah untuk mendatangkan mahasiswa asing dengan beasiswa Monbusho. Kita diberi wewenang untuk memilih siapa saja yang kita anggap pantas dan layak. Seleksi di universitas hanyalah formalitas. Saya limpahkan wewenang itu kepada kamu, dan saya minta kamu memilih alumni UGM untuk kita undang. Ya, alumni UGM seperti kamu. Saya ingin lebih banyak lagi pekerja keras seperti kamu di grup kita.”

Sebagai respon, saya kontak adik kelas saya di FMIPA UGM, kemudian dia memenuhi undangan kami. Kini dia sudah selesai kuliah di program doktor dan menjadi dosen di suatu PTN di Jawa Tengah.

Saat itu saya sudah lulus program doktor dan bekerja sebagai visiting researcher di bawah bimbingan Sensei, di Kumamoto University, Jepang. Saat itu sudah enam tahun lebih saya berinteraksi dengan beliau. Masa yang cukup panjang. Saat itu adalah titik diametral bila dibandingkan dengan saat saya pertama kali bertemu untuk mulai kerja riset di bawah bimbingan Sensei.

Kata-kata Sensei yang pertama saya dengar setelah kami berbasa-basi berkenalan adalah, “Tolong kamu kerja keras di sini. Jangan bawa-bawa budaya tropis kamu ke sini.”

“Maksud Sensei bagaimana? Budaya tropis itu apa?” tanya saya tak paham.

“Kalian orang-orang tropis itu kan pemalas. Makanya kalian tertinggal. Lihat kami orang Jepang, Korea, dan Cina. Apa yang kamu lihat di depanmu saat ini, kemajuan ekonomi dan teknologi, semua ini tidak gratis. Kami memperolehnya dengan kerja keras. Tirulah cara kerja kami.”

Tentu saja saya tersinggung dengan ucapan itu. Tapi saya memilih diam. Karena saya tahu, percuma berdebat dengan kata-kata. Perbuatan akan lebih meyakinkan. Maka saya tunjukkan kepada Sensei bahwa saya bukan pemalas.

Butuh waktu yang panjang ketika akhirnya dia mengakui kerja keras saya. Dan dia tidak hanya melihat saya sebagai sosok pribadi. Dia memandang saya sebagai alumni UGM. Bahkan, dia memandang saya sebagai orang Indonesia. Kehadiran saya telah mengubah pandangan Sensei tentang orang Indonesia.

Situasi yang saya hadapi saat pertama kali bertemu Sensei mungkin akan dihadapi oleh banyak orang saat akan mulai sesuatu. Termasuk di antaranya yang baru lulus. Lalu mereka akan menempuh perjalanan untuk membuktikan diri, sampai mendapat pengakuan.

Ada yang butuh waktu sangat lama, ada yang lebih singkat. Tapi apapun juga, hanya pekerja keras dan pantang menyerah yang bisa lolos dari tantangan ini

Kerja keras. Hanya itulah yang saya miliki saat itu. Kebetulan saya bukan mahasiswa yang sangat cerdas. Saya bukan orang brilliant. Menariknya, dalam kultur Jepang tata krama dan kerja keras lebih dihargai ketimbang kecerdasan belaka.

Kerja riset itu sendiri, di samping membutuhkan kecerdasan, juga membutuhkan kreativitas. Tapi di atas itu semua, kerja keras memang paling menentukan.

Beberapa bagian dari kerja riset itu mirip kerja rodi. Saya misalnya bekerja dengan alat yang disebut diamond anvil cell, yang mengharuskan saya menempatkan sampel di dalam ruang berdiameter kurang dari 0.3 mm.

Shutterstock
Di situ kecerdasan tak banyak berperan. Hanya ketekunanlah yang berarti. Berbulan-bulan melatih tangan, barulah hal itu bisa dilaksanakan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com