Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Miskin Pikiran

Kompas.com - 26/04/2016, 16:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

“Miskin harta itu gampang sembuhnya, cukup dengan bekerja. Tapi kebanyakan orang miskin itu bukan miskin harta, mereka miskin pikiran.”

Emak selalu mengomelkan hal itu kepada kami sejak kami masih kecil. Ada banyak orang miskin di kampung kami ketika itu.

Rumahnya reot, nyaris tumbang. Atap bocor di sana sini. Demikian pula dinding rumahnya, bolong di berbagai tempat. Rumah juga tanpa perabot. Untuk tidur mereka pakai tikar pandan yang sudah robek. Sekedar piring makan saja mereka pakai piring seng yang sudah berkarat.

Ibakah Anda melihat mereka? Mungkin. Tapi Emak lebih sering jengkel ketimbang iba. Kenapa? Di kampung kami dulu orang nyaris tak memerlukan uang. Hampir semua barang untuk hidup disediakan oleh alam.

Untuk membuat atau membetulkan rumah, orang cukup pergi ke hutan, menebang berbagai jenis kayu untuk tiang, dan lantai, serta mengumpulkan daun-daun nipah untuk daun dan dinding.

Demikian pula, daun pandan tersedia lebih dari cukup untuk membuat tikar. Jadi kalau orang kampung tinggal di gubuk reot seperti saya lukiskan tadi, mereka hanya pemalas saja.

Setiap musim peceklik menjelang musim panen padi, banyak orang datang ke kebun kami mengambil singkong untuk makan. Persedian padi mereka sudah habis. Waktu panen padi mereka dijual sebagian. Pokoknya dijual saja, tanpa menghitung kebutuhan selama setahun sampai panen tahun depan. Untuk menyambung hidup mereka makan singkong.

Tapi kenapa meminta di kebun kami? Karena mereka tidak menanam. Kenapa tidak menanam? Pemalas.

Padahal kami hanya menanam singkong sekali saja, waktu membuka lahan kebun dulu. Setelah itu batang singkong yang kami buang saat panen singkong, tumbuh lagi, berumbi lagi.

Kemudian tanaman singkong itu tumbuh liar di kebun kelapa kami. Artinya tidak perlu kerja berat benar untuk menghasilkan singkong itu.

Itulah yang disebut Emak miskin pikiran. Tidak ada dalam pikiran orang-orang itu untuk keluar dari kemiskinan. Padahal hanya diperlukan langkah kecil saja untuk itu.

Orang-orang miskin pikiran inilah yang banyak menjadi gelandangan di kota-kota. Mereka adalah orang-orang yang menikmati kemiskinan, bahkan mengeksploitasi kemiskinan mereka.

Mereka mengemis di tengah lalu lalangnya orang-orang yang bekerja. Mereka mengemis di tengah pasar, di depan orang-orang yang bekerja.

Para pekerja di pasar itu tidak semuanya orang bermodal. Banyak yang hanya bermodal tenaga kasar saja. Tapi apa yang membedakan pekerja kasar itu dengan pengemis? Pikiran. Mereka memilih untuk bekerja.

Jadi kalau kita berikan uang receh kita kepada para pengemis itu, kita sedang mengawetkan mereka di tempat itu. Mereka menikmati posisi sebagai orang miskin, sementara kita juga menikmati posisi kita sebagai pemberi.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com