Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Mengapa Kita Bersedekah?

Kompas.com - 27/04/2016, 13:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Pertama karena dorongan manusiawi. Secara naluriah kita akan tergerak untuk membantu ketika melihat orang lain kesusahan. Orang yang berlalu begitu saja melihat orang lain kesusahan adalah orang-orang yang sudah tergerus rasa kemanusiaannya.

Maka setiap agama mengajarkan untuk memberi, membantu orang lain. Agama sebenarnya sedang mengajari kita untuk terus menerus merawat kemanusiaan kita.

Selain itu agama mengajarkan sedekah atau memberi orang lain sebagai pelajaran bagi kita untuk tidak terikat pada harta. Kita diajarkan untuk tidak menjadikan harta sebagai tujuan hidup.

Ada banyak hal lain yang perlu kita kejar selama hidup, salah satunya adalah kemanusiaan tadi. Jadi memberi itu ibarat memutus tali-tali harta yang membelenggu kita dari kemanusiaan kita.

Apakah Tuhan akan memberi imbalan di akhirat kelak atas sedekah kita? Ada banyak janji pahala dan imbalan surga untuk orang yang bersedekah. Sama halnya, ada berbagai janji imbalan pahala pula untuk amal-amal lain.

Tapi pernahkah Anda perhatikan bahwa kita tidak pernah diberi tahu, berapa jumlah pahala minimal yang akan membuat kita masuk surga? Ya, kita tidak tahu sedekah berapa yang akan membuat kita masuk surga. Kita juga tidak tahu berapa banyak amal yang akan membuat kita masuk surga.

Bagi saya pahala itu adalah simbol saja. Tuhan menyuruh kita menjadi manusia, meningkatkan harkat kemanusiaan kita setinggi-tingginya. Caranya melalui berbagai amal.

Ibadah ritual, sedekah, berperilaku baik, menjaga kebersihan, membawa manfaat bagi sesama manusia. Semua itu sama, amal-amal baik belaka.

Kita sebenarnya diperintahkan menjadi manusia yang baik secara komprehensif. Jadi, bagi saya muskil rasanya bila kita mencoba berhitung di hadapan Tuhan tentang sudah berapa banyak pahala yang kita kumpulkan.

Padahal kita bisa mengukur tingkat kemanusiaan kita dari berbagai interaksi kita dengan sesama manusia.

Apakah sedekah akan menghindarkan kita dari bencana? Ada orang yang percaya hal itu. Tuhan akan murka dan memberi kita bencana bila kita tidak sedekah.

Iman seperti ini terdengar sungguh primitif. Sama dengan iman orang zaman purba yang mempercayai bahwa Tuhan akan mendatangkan bencana kalau kita tidak memberi sesajen.

Slamet Priyatin/Kompas.com Seorang tokoh masyarakat mendoakan kepala kerbau dan berbagai jenis makanan yang akan dilarung ke laut dalam upacara sedekah laut untuk mengucapkan syukur kepada Tuhan atas rezeki yang melimpah.
Saya tidak percaya pada Tuhan pemberi bencana. Bencana atau bukan, itu persoalan pola pikir kita saja. Anda sakit, apakah itu bencana? Bukan. Itu hanya peringatan bagi kita untuk menjaga kesehatan.

Rasa sakit itu adalah alarm alami untuk menghidarkan kita dari bahaya. Kalau kulit kita tersengat sesuatu, misalnya api rokok, kita akan refleks menhindar atau menjauh. Bisakah kita bayangkan kalau kita tidak merasakan sakit? Tahu-tahu tubuh kita habis terbakar, tanpa kita berusaha menghindar.

Jadi, sakit itu sebenarnya alarm yang disediakan Tuhan untuk menyelamatkan kita, bukan bencana akibat murka Tuhan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com