Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indy Hardono
Pemerhati pendidikan

Saat ini bergiat sebagai koordinator tim beasiswa pada Netherlands Education Support Office di Jakarta. Sebelumnya, penulis pernah menjadi Programme Coordinator di ASEAN Foundation. 

Quo Vadis Generasi Emas, Generasi "Unyu-Unyu" Kita...

Kompas.com - 02/05/2016, 17:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLatief

 

KOMPAS.com - Boleh jadi, tidaklah tepat membandingkan generasi 1945 dan generasi 2045. Jelas betul, 100 tahun rentang zaman itu memberikan warna dan tantangan berbeda bagi dua generasi tersebut. Sangat berbeda, mulai teknologi, infrastruktur, sampai pada idealisme dan cara pandang.

Mungkin, tantangan yang dihadapi generasi 1945 dulu lebih tangible, yaitu mengusir penjajah. Namun, sekarang ini, tantangan seringkali semu. Kadang, tantangan itu tidak terlihat sebagai tantangan. Apa itu? Kita sebut saja derasnya arus informasi, dan dunia yang kini menjadi lebih terkoneksi. Dunia tanpa batas, dunia yang lebih "kecil".

Nah, 30 tahun lagi, Indonesia akan merayakan 100 tahun kemerdekaanya. Kelak, mereka yang saat ini berumur 20 tahunan akan berusia 50 tahunan pada 2045. Merekalah yang nantinya akan duduk di "bangku pengemudi". Merekalah generasi emas itu!

Tapi, kenapa sepertinya semua masih "tenang-tenang" saja? Istilah anak sekarang, masih "mager" alias malas gerak?

Gerak

Sebuah momentum mensyaratkan gerak. Tapi, bukan sembarang gerak. Bukan gerak dengan percepatan konstan, yang hanya akan menghasilkan tren pertumbuhan yang linier, yang gradual. Yang dibutuhkan adalah lompatan besar dan cepat. Gerak eksponensial, gerak yang melesatkan!

Tentu, ,omentum 100 tahun kemerdekaan pun membutuhkan gerak. Gerak dari generasi emas yang jauh lebih open minded, tapi juga sensible, lebih peka terhadap semua yang terjadi di lingkungan mereka.

Yang dibutuhkan adalah gerak dan lompatan besar dari generasi muda yang didasari oleh kesadaran atas tantangan global, tapi tetap berakar pada kepekaan (sensibility) dan kearifan lokal (wisdom).

Tak ada yang salah dengan "menggilai" gadget atau 'drakor' atau drama Korea, tapi akan lebih baik jika dibarengi juga dengan keranjingan ikut serta kompetisi debat bertaraf internasional.

Tidak ada yang salah dengan menggemari musik hip hop, tapi akan lebih keren jika tetap tampil hits dengan kemeja tenun Endek Bali dan mengetahui filosofi di balik sehelai kain batik bermotif wahyu tumurun.

Pun, tak salah juga menjadi citizen journalists yang gemar menuliskan dan menggambarkan apa yang dilihat dan dirasakan di media sosial, tapi juga aktif dalam kegiatan sosial atau community works. Tidak salah menjadi generasi unyu-unyu, tapi tetap kritis, asertif dan selalu ingin tahu (curiosity).

Bukan generasi "Gold Plated"

Saat ini Indonesia masih menjadi negara terbesar yang menjadi pendorong ekonomi kawasan ASEAN. Pada 2030, 70 persen dari total penduduk Indonesia atau sekitar 180 juta jiwa adalah mereka yang berada pada usia produktif.  

Pertanyaannya, relakah kita, jika generasi ini hanya akan menjadi generasi penonton? Generasi reaktif, bukan proaktif, generasi konsumtif bukan produktif, generasi pasif bukan asertif, generasi pelaku bukan penentu?

Karenanya, pendidikan merupakan faktor penentu. Pendidikan yang mempersiapkan dan mematangkan generasi emas seyogianya adalah pendidikan yang bukan hanya menjadikan anak didik sebagai pelajar, tapi sebagai pembelajar.

Pendidikan yang mampu meng'energize' bukan saja aspek kognitif, tapi juga aspek rasa dan kepekaan. Pendidikan yang menghasilkan real gold generation, bukan gold plated generation.

Selamat Hari Pendidikan Nasional!

Penulis adalah pemerhati pendidikan dan bergiat sebagai koordinator tim beasiswa pada Netherlands Education Support Office di Jakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com