Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Amanda Setiorini
Pengemar Buku dan Travelling

Penggemar buku dan travelling, berpengalaman sebagai jurnalis selama tujuh tahun dan menekuni penerbitan buku selama enam tahun sesudahnya. Penulis buku ‘My Travel Notes’ ini sekarang menjadi penulis lepas dan dosen manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana.

Kenapa Mahasiswa Kita Malas Membaca?

Kompas.com - 20/05/2016, 12:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnu Nugroho

Sebagai pengajar, saya sering stres sendiri dengan mahasiswa saya. Kalau sudah urusan membaca, malasnya minta ampun.

Siapapun tentu tahu, membaca buku teks yang tebal-tebal dan berbahasa asing bukan hal mudah, apalagi bisa dinikmati. Tetapi, sudah saya berikan sadurannya pun, mereka masih tetap enggan membaca.

Soal minat terhadap literasi ini pun dibahas dalam pertemuan penulis dan editor Penerbit Buku Kompas, Kamis (19/05/2016). Satu hal yang langsung terasa “jleb” bagi saya adalah ketika Witdarmono, penggagas koran anak-anak “BERANI”, mengatakan bahwa minat membaca itu dimulai dari kecil, dan diawali dari rumah—artinya, dari orangtua.

Jadi, kalau orangtua tidak biasa membaca dalam kehidupan sehari-hari, janganlah berharap anak-anaknya akan senang membaca.

Seorang kawan bercerita mengenai temannya yang berkeluh kesah, “Kok anak saya enggak ada yang senang membaca, ya?”

Si kawan bertanya, “Di rumahmu langganan koran, nggak?” Ketika dijawab tidak, ia membalas, “Ya tidak perlu heran kalau begitu.” Ini karena koran datang setiap hari dan “memaksa” kita untuk membaca, bukan?

Dimulai dari Rumah

Saya mengingat-ingat kembali bagaimana cara saya dibesarkan dalam keasyikan membaca. Saya membaca novel sejak kelas 1 SD. Mulai dari serial Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, Mallory Tower, St. Clare, dan masih banyak lagi.

Setiap bulan selalu membeli buku, dan liburan sekolah bagaikan surga karena saya boleh membeli hingga 6 buku!

Sejak kecil saya terbiasa dengan novel—yang isinya hanya tulisan, kadang tidak ada gambarnya sama sekali—bukan jenis komik. Dan sampai sekarang, saya tidak pernah suka membaca komik, sementara novel-novel tebal buat saya tampak semakin seksi saja.

Darimana kebiasaan membaca itu? Baru-baru ini, Mama mengirimkan foto saya masih kecil, mungkin kurang dari 3 tahun dan jelas belum bisa membaca. Foto itu menggambarkan saya duduk di teras rumah—dengan kursi kecil—sambil membaca..., Harian Kompas.

Mungkin memang tidak benar-benar membaca, hanya sekadar mejeng saja. Ganjil rasanya melihat anak sekecil itu memegang Harian Kompas.

Di masa kecil, saya berlangganan Majalah Bobo. Saya kerap mengumpulkan sisipan cerita di bagian tengah Bobo, lalu saya jilid. Salah satunya adalah cerita petualangan Pak Janggut dan buntelan ajaibnya.

Langganan koran dan majalah adalah bagian dari keseharian di rumah. Setelah lewat masanya Bobo, saya berlangganan majalah HAI.

Kalau majalah dan koran tidak dikumpulkan, buku adalah koleksi. Jumlah buku saya sudah lebih dari 1.000 judul dan baru-baru ini saya “harus” membuat lemari yang benar-benar layak untuk menyimpan koleksi berharga itu.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com