Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pungutan Berkedok Sumbangan

Kompas.com - 21/07/2016, 10:36 WIB

Oleh: Febri Hendri AA

Pungutan sekolah selalu menghantui orangtua murid setiap tahun ajaran baru. Selain membiayai kebutuhan pribadi siswa, para orangtua harus membayar pungutan sekolah yang mencekik leher.

Tahun ini, tahun ajaran baru dimulai hampir bersamaan dengan akhir libur Lebaran yang juga menguras habis dana keluarga.

Orangtua harus mengutang, bahkan menggadaikan aset keluarga untuk membiayai kebutuhan pendidikan ini.

Mengapa sekolah masih saja menarik pungutan berkedok sumbangan meski telah ada aturan yang melarang hal itu? Apakah ada pihak yang mencoba menarik keuntungan dari praktik ini?

Permasalahan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah membedakan kriteria pungutan dan sumbangan. Pungutan memiliki unsur wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktunya ditentukan oleh sekolah.

Sementara sumbangan bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak mengikat serta jumlah dan jangka waktu tidak ditentukan oleh sekolah.

Dalam praktiknya, sumbangan tetap memiliki unsur pungutan. Misalnya, sekolah melalui komite sekolah menetapkan sumbangan minimal, sumbangan wajib, sumbangan sukarela, dan lainnya yang bersifat memaksa, mengikat dan dalam jangka waktu tertentu.

Secara umum, pungutan dilarang di sekolah negeri pada jenjang pendidikan dasar. Sementara sekolah swasta dan negeri pada jenjang pendidikan menengah dibolehkan menarik pungutan.

Sumbangan boleh diterima oleh semua sekolah, baik publik maupun swasta, di semua jenjang pendidikan.

Ada dua pertanyaan utama terkait hal ini. Pertama, apakah dana yang diberikan pemerintah pusat dan daerah ke sekolah memang belum cukup memenuhi standar nasional pendidikan (SNP)?

Kedua, mengapa masih saja sekolah, terutama SD dan SMP milik pemda, menerima sumbangan yang pada praktiknya adalah pungutan?

Pertama, sampai saat ini belum ada ukuran atau standar biaya kebutuhan sekolah yang valid dan dapat diandalkan.

Padahal standar biaya adalah dasar menilai bahwa sekolah memang kekurangan dana untuk membiayai program sekolah mencapai SNP. Satu-satunya ukuran adalah satuan biaya operasional sekolah, itu pun ditetapkan Mendikbud, tahun 2012.

Jadi, dengan ketiadaan standar biaya satuan pendidikan, terutama satuan biaya per siswa per tahun, maka sulit bagi pemerintah, publik, dan orangtua mengukur usulan kebutuhan operasional dan investasi sekolah yang harus mereka danai.

Dengan demikian, sekolah pasti akan terus menarik pungutan dan sumbangan dari orangtua murid.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com