Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Latief
Editor

Penulis adalah jurnalis Kompas.com yang lama menangani desk pendidikan. Rutinitas penulis saat ini adalah menangani content marketing di Kompas.com

Ongkos Mahal Gagasan "Mengajar 12 Jam" dan "Full Day School"

Kompas.com - 08/08/2016, 18:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLatief

KOMPAS.com – Belum sebulan menjabat, pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy sudah mengundang ramai perbincangan, yang kalau boleh disebut kontroversi. Yang pertama soal waktu mengajar 12 jam, dan kedua soal pelaksanaan program full day school di sekolah. Kenapa kontroversial?

Dua kebijakan yang diwacanakan Mendikbud tersebut sebetulnya sudah saling berlawanan, dalam arti berseberangan dengan sendirinya. Bagaimana mungkin guru yang hanya diberikan beban mangajar 12 jam bisa mengikuti kebijakan menjalankan program full day school atau sehari penuh di sekolah?

Ya, jika siswa diminta seharian penuh di sekolah, sementara beban guru mengajar hanya 12 jam, lalu siapa yang akan membimbing anak-anak didik itu di sekolah? Apakah kebijakan itu akan menempatkan peran guru honorer yang dibayar sesuai dengan jam mengajarnya agar mengajar sehari penuh? Atau, malah beban itu ada di anak didik itu sendiri?

Gagasan tersebut memang tak seluruhnya salah. Tapi, tak ada salahnya gagasan itu lebih dulu ditata dan diukur. Hal pertama yang sudah pasti menjegal gagasan itu adalah Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD), tepatnya Undang-Undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen. UU itu pun bahkan sudah diperkuat oleh Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 Tahun 2008 tentang Guru yang ditandangani oleh Presiden Republik Indonesia per 1 Desember 2008.

Pada pasal 35 14/2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan;

1. Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik serta melaksanakan tugas tambahan;

2. Beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah sekurang-kurangnya 24 ( dua puluh empat ) jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 ( empat puluh ) jam tatap muka dalam 1 minggu tersebut merupakan bagian jam kerja dari jam kerja sebagai pegawai yang secara keseluruhan paling sedikit 37,5 ( tiga puluh tujuh koma lima ) jam kerja dalam 1 minggu;

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Menanggapi gagasan itu, perlu daya kritis semua pihak untuk menyikapinya. Karena, selain akan mengarahkan pada pengubahan UUGD yang membutuhkan proses politik dan ongkos mahal, gagasan tersebut akan banyak membuang sia-sia jam belajar, terutama hitungan beban mengajar di setiap mata pelajaran di struktur kurikulum. Yaitu, jika jam mengajar dikurangi, maka akan ada sisa jam yang tidak ada gurunya.

Faktanya, memang, tak semua guru bidang studi tertentu bisa memenuhi 24 jam itu akibat alokasi waktu di tiap kelas terlalu sedikit sehingga harus mencari sekolah lain untuk tambahan jam mengajar. Hanya, persoalan mencari tambahan itu juga bukan perkara sepele, mengingat tak semua sekolah membuka lowongan baru untuk guru.

Boleh jadi, bagi sebagian besar guru swasta, apalagi yang belum mengantongi sertifikasi, akan mencari jam tambahan. Mereka akan berusaha mencari cara untuk menambah penghasilannya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya selama sebulan. Bukankah faktanya memang demikian, bahwa penghasilan guru swasta, apalagi yang masih berstatus honorer, berbanding lurus dengan jam mengajar? Dengan pertanyaan itu, apakah gagasan tersebut sudah sangat substansial bagi jalannya pendidikan nasional?

M LATIEF/KOMPAS.com Siswa SMA dan SMP.
Bukan sekadar gagasan

Itu baru bicara jam mengajar, belum gagasan soal full day school. Di era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh, kebijakan penambahan jam belajar 4-6 jam per minggu sesuai amanat Kurikulum 2013 membawa wacana baru saat itu; pelaksanaan full day school.

Saat itu, jelas-jelas ditegaskan bahwa pelaksanaan program ini belum bisa diterapkan di sekolah negeri, karena jam belajar pendidikan dasar di Indonesia masih kurang dan tertinggal jauh dengan negara-negara lain.

Ketertinggalan itu sangat jelas, terutama jika dikaitkan dengan perbandingan jumlah jam belajar pendidikan dasar anak-anak usia sekolah di negara-negara anggota OECD (Organization for Economic Co-operation and Development). Rata-rata lama sekolah untuk seorang anak mengenyam pendidikan dasar di Indonesia, SD-SMP adalah 6.000 jam, sedangkan di negara-negara OECD rata-ratanya 6.800 jam.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com