Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Menghindari Perubahan

Kompas.com - 29/08/2016, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Perubahan sering kali membuat orang tidak nyaman. Perubahan berarti keluar dari zona nyaman. Reaksi otomatis orang terhadap “ancaman” perubahan adalah menghindar.

Ada banyak cara yang dilakukan orang untuk menghindar. Di antaranya mengritik, menganalisa, menyangkal, mengganti topik pembicaraan, mengabaikan, dan lain-lain.

Sering kita melihat orang sukses. Kita mulai berpikir bahwa alangkah baiknya kalau kita bisa sukses juga, seperti dia.

Tapi kemudian timbul “kesadaran” lain, bahwa untuk sukses itu kita harus kerja keras, disiplin, tertib, terbuka, bersih, jujur, dan lain-lain. Semua itu menuntut kita berubah dari diri kita yang sekarang.

Rasa ingin tetap nyaman dalam diri kita kemudian mengeluarkan reaksi otomatis untuk menghindar.

Kita punya dalil “dia sih enak”. Ketika membahas kesuksesan seseorang kita sangat suka mengumpulkan fakta-fakta bahwa dia sukses karena dia punya semua hal yang mendukung kesuksesan dia.

Pada saat yang sama kita yakinkan diri kita bahwa kita tidak punya itu semua. Karena itu wajar saja kalau kita tidak seperti dia. Maka kita bilang,”Dia sih enak.”

Kita percaya pada faktor keberuntungan. Ada orang-orang yang beruntung. Sepanjang hidupnya ia selalu dihampiri oleh kesempatan-kesempatan yang baik, keberuntungan, yang membuat ini selalu naik ke posisi yang lebih tinggi.

Kita sering menganggap diri kita bukan orang yang beruntung, karena kita tidak dihampiri oleh kesempatan-kesempatan baik itu. Dia adalah orang yang dipilih oleh Tuhan untuk sukses, dan kita tidak. Ini adalah analisa yang kita lakukan untuk menghindar.

Setiap orang sebenarnya dihampiri oleh banyak kesempatan untuk sukses, sama seperti setiap orang yang berjalan dalam hujan diterpa oleh butir-butir air hujan. Tidak ada orang yang diterpa lebih banyak dari orang lain.

Tapi kenapa ada orang yang sepertinya mendapat kesempatan lebih banyak? Karena ia memanfaatkan kesempatan-kesempatan itu, sehingga setiap kesempatan menimbukan jejak atau bekas dalam sejarah hidupnya.

Orang lain membiarkan kesempatan-kesempatan itu berlalu, sehingga tidak menimbulkan bekas dalam riwayat hidupnya. Ia terlihat seperti tidak pernah mendapat kesempatan, padahal dapat.

Bahkan banyak orang yang tidak sadar bahwa sebuah kesempatan emas sedang berlalu di hadapannya.

Adapun orang-orang sukses itu, mereka tak hanya menunggu kesempatan, mereka mencari kesempatan, memburunya. Bahkan mereka menciptakan kesempatan-kesempatan. Itu juga yang membuat mereka terlihat lebih banyak mendapat kesempatan.

Cara lain yang kita pakai untuk menghindar adalah logika “two wrongs make a right”. Kalau kita melakukan kesalahan, kita membuat pembenaran dengan mengatakan bahwa semua orang melakukannya. Atau setidaknya ada orang lain yang melakukannya juga.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com