Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Melawan Miskin Pikiran

Kompas.com - 29/09/2016, 09:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Banyak hal hebat yang bisa dilakukan manusia. Manusia biasa, bukan manusia hebat. Itu yang dicontohkan oleh Emak saya. Ia hanya seorang perempuan buta huruf, yang tak pernah sekolah. Ia hanya istri seorang petani, tepatnya buruh tani.

Waktu baru menikah orang tua saya tak punya apa-apa. Tak ada kebun, rumah pun menumpang pada orang tuanya.

Ayah waktu itu bekerja sekadarnya, memanjat kelapa, memetik, lalu mengumpulkan buahnya. Ia mendapat upah, dengan itulah mereka hidup sekadarnya.

Banyak orang di kampung yang hidup seperi itu. Tapi Emak berbeda. Ia ingin hidup lebih baik. Maka ia ajak Ayah untuk pindah ke tempat lain.

Di kampung baru mereka menebang hutan, membuka lahan untuk kebun. Ayah kini tak lagi jadi buruh, ia punya kebun sendiri. Dalam beberapa tahun mereka bebas dari kemiskinan.

Tidak hanya itu. Emak ingin anak-anaknya sekolah, tapi tak ada sekolah di kampung kami waktu itu. Maka dengan mendayung sampan selama 3 hari Emak dan Ayah mengantar anaknya ke kampung lain, dititipkan ke rumah orang untuk sekolah.

Ayah kemudian mempelopori pembangunan sekolah, tempat anak-anaknya belajar, bersama ratusan anak-anak kampung kami.

Emak bekerja mati-matin, untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Jadi petani saja tak cukup. Berdagang pakaian, dan menjadi perias pengantin. Hasilnya, anak-anaknya bisa sekolah sampai sarjana. Saya, anak bungsu Emak, bisa sampai doktor.

Apa yang membuat Emak berbeda dari orang lain? Kekuatan pikirannya. Gagasan dan visinya. Emak mampu memandang jauh ke depan, melampau batas kemampuan intelektualnya sebagai orang buta huruf. Ia bahkan mampu melewati batas zaman.

Satu frase ini, miskin pikiran, kerap diulang Emak. Kepada kami ia tak segan membicarakan cela orang-orang kampung yang duduk diam berpangku tangan, menyerah dalam belitan pikiran.

"Mereka itu miskin pikiran," kata Emak. Sepanjang dalam asuhan Emak, kami diajarkan untuk tidak miskin pikiran.

Penyakit miskin pikiran ini, diderita banyak orang, di banyak tempat, sepanjang zaman. Hidup tanpa visi, tanpa tujuan, tanpa rencana. Tak terkecuali orang-orang terdidik.

Ada berapa banyak orang sekolah, tanpa tahu apa yang mereka cari, dan apa yang mereka tuju. Ada berapa banyak yang mulai bekerja tanpa berpikir, bagaimana rencana karir mereka kelak.

Ada ribuan orang yang tidak menyadari bahwa hidup harus diisi dengan kegiatan belajar pada setiap detik yang mereka lewati. Mereka persis seperti orang-orang kampung yang dicela Emak tadi.

Saya berkeliling ke kampus-kampus, memberi kuliah kepada mahasiswa. Bangunlah mimpi, susun rencana untuk mewujudkannya. Lalu jalani rencana itu, belajarlah untuk mendapat bekal yang cukup guna mencapai mimpi itu. Lakukan evaluasi untuk memastikan bahwa hidupmu menuju arah yang benar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com