Tahun 1987 menjelang kuliah di UGM saya kebetulan hadir di suatu acara (kalau tak salah halal bi halal) masyarakat Kalimantan Barat di Jakarta. Para mahasiswa asal Kal-Bar yang berada di Jakarta terlibat dalam kepanitiaan.
Saya waktu itu kebetulan menumpang sejenak di asrama daerah, diikutkan pula sebagai penyambut tamu. Orang-orang penting hadir pada acara itu, termasuk gubernur beserta istrinya.
Dalam acara ramah tamah, gubernur dan istri berkeliling menyapa para mahasiswa. Beberapa tampak sudah akrab dengan mereka. Saya paham, karena kebanyakan dari mereka adalah anak orang-orang penting di daerah kami. Ada yang pejabat pemerintah, tentara, serta pengusaha.
Beberapa yang belum dikenal oleh kedua orang penting itu ditanyai, “Kamu anak siapa?” Mereka dengan sopan menjawab, “Saya anak Pak Anu.” Gubernur dan istrinya kemudian berkomentar ramah soal orang tua mahasiswa tadi.
Tibalah giliran saya. Istri gubernur dengan ramah menanyai saya.
“Kamu anak siapa?”
“Bapak saya Abdurakhman.”
“Pak Abdurakhman mana ya? Dinas di mana?”
“Tidak dinas, Bu. Bapak saya petani.”
Istri gubernur kehilangan kata-kata untuk berkomentar. Dia cuma berguman “Oooo”, kemudian berlalu.
Kalau mau diukur dengan jabatan ataupun harta, saya memang bukan anak siapa-siapa. Ayah saya petani, sekolah hanya sampai kelas 2 Sekolah Rakyat. Emak bahkan tak pernah sekolah sama sekali. Saya memulai hidup saya dari tempat paling dasar.
Di sekitar kita, ada banyak orang seperti saya, nobody’s child. Orang-orang seperti saya adalah orang yang tertinggal beberapa langkah dalam hal akses.
Saat beberapa orang hanya memerlukan satu panggilan telepon atau satu kunjungan dari bapaknya untuk bisa mendapatkan bantuan gubernur, bagi saya bantuan dari gubernur nyaris mustahil. Maka orang-orang seperti saya harus benar-benar istimewa untuk menjadi “seseorang”.
Perlukah kita yang bukan anak siapa-siapa ini berkecil hati? Tidak. Dari pengalaman keseharian kita bisa melihat bahwa modal awal bukanlah segala-galanya untuk mencapai sukses.
Sebenarnya sukses pun tidak diukur dari berapa tinggi tempat seseorang berdiri. Sukses diukur dari seberapa jauh seseorang telah naik. Tidak hanya itu. Sukses juga akan lebih indah bila dilihat pula jalan apa yang sudah ditempuh oleh seseorang untuk naik sampai ke posisi tertentu.