Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Apa yang Harus Dilakukan bila Kita Miskin?

Kompas.com - 20/02/2017, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Ini pelajaran penting dari Emak. Ia tak meratapi nasib. Emak tadinya berasal dari keluarga yang lumayan berada. Kebun kelapa ayahnya luas. Keluarganya hidup berkecukupan. Tapi suatu hari semua itu hilang.

Pagong, tembok yang membentengi kebun dari rendaman air laut yang berlebihan, pecah. Kebun ayahnya terendam dalam. Lalu pohon-pohon kelapanya mati.

Emak tak mengeluh soal itu. Ia tak menyalahkan Tuhan. Ia pun tak meratapi nasib berkepanjangan.

Setelah menikah dan punya anak dua, Emak mengajak Ayah pindah ke kampung baru, membuka lahan untuk membangun kebun. Emak tak menempatkan dirinya sebagai perempuan, yang boleh bersikap lemah. Ia juga tak memposisikan dirinya sebagai ibu rumah tangga, yang tahunya hanya menerima.

Emak menempatkan dirinya sebagai pioneer. Ia maju, di bawah lindungan keperkasaan suaminya, menyingsingkan lengan baju, bersama mengubah nasib. Emak ikut menebang pohon, membuka lahan, bersama Ayah membangun kebun.

Ketika anaknya sudah besar dan perlu sekolah, Emak tak mengeluh karena di kampung kami tak ada sekolah. Hidup di pulau terpencil tak menghalangi cakrawalanya. Laut yang memisahkan pulau kami dengan daratan lain tak menghalanginya.

Emak merengkuh dayung, mengayuh sampan, bersama Ayah pergi mengantar anaknya untuk dititipkan sekolah di kampung lain.

Baca: Emakku Bukan Kartini

Cukup? Tidak. Tak semua anakku bisa sekolah kalau mesti menumpang di rumah orang. Maka, ia meminta Ayah membangun sekolah di kampung kami. Ayah bersama orang-orang kampung membangun sekolah.

Bagaimana peran pemerintah? Pemerintah mana? Emak tak kenal politik. Pemerintah terlalu jauh untuk dijangkau. Pemimpin di kampung kami cuma kepala kampung, yang hanya sesekali menerima subsidi yang tak seberapa.

Emak mengajarkan tak perlu merengek pada pihak lain, pihak manapun. Nasibmu kau ubah dengan tanganmu sendiri. "Kemiskinan itu mulanya dari miskin pikiran," kata Emak selalu.

"Miskin pikiran itu, kita tak tahu apa yang mesti kita buat untuk diri kita sendiri. Kita menyalahkan orang lain, mengeluh. Puas berhari-hari, bertahun-tahu mengeluh, tak ada yang berubah pada hidup kita."

hasanudin Buku Emakku Bukan Kartini tulisan Hasanudin Abdurakhman
Buka pikiran, bongkar tembok-tembok penghalang. Perempuan tak mesti jadi ratu yang sibuk membelai badan sendiri biar selalu halus.

"Tangan halusmu yang lentik gemulai tak membuat perutmu kenyang," kata Emak mengomeli anak-anak gadisnya. Gunakan tangan itu untuk bekerja, membuat kami mandiri, supaya tidak hidup miskin.

Laki-laki tetaplah pemimpin. Emak sangat menghormati Ayah. Tapi itu tak menghalanginya untuk mendorong. Emak adalah sumber motivasi bagi Ayah untuk bekerja lebih keras, dan lebih keras lagi. Dari Emak banyak datang gagasan, yang kemudian dilaksanakan Ayah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com