Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Sufyan Abd
Dosen

Dosen Digital Public Relations Telkom University, Lulusan Doktoral Agama dan Media UIN SGD Bandung. Aktivis sosial di IPHI Jabar, Pemuda ICMI Jabar, MUI Kota Bandung, Yayasan Roda Amal & Komunitas Kibar'99 Smansa Cianjur. Penulis dan editor lebih dari 10 buku, terutama profil & knowledge management dari instansi. Selain itu, konsultan public relations spesialis pemerintahan dan PR Writing. Bisa dihubungi di sufyandigitalpr@gmail.com

Insan Humas dalam Langgam Indonesia Bicara Baik

Kompas.com - 27/02/2017, 18:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Adakah yang menyadari, selepas bertemu Menkopolhukam Wiranto, ada intonasi berbeda dari komunikasi publik seorang Habib Rizieq Sihab (HRS). Tepatnya dalam helatan 212 di Mesjid Istiqlal awal Februari lalu, terdapat beberapa hal menarik dicatat --sekaligus menunjukkan perubahan tersebut.

"Jangan sekali-kali maknai aksi kami sebagai aksi makar, anti NKRI, anti Bhinneka Tunggal Ika."

Berikutnya lebih ditekankan HRS, "[Ummat] Siap dukung dialog? Siap dukung komunikasi? Siap ciptakan kedamaian? Kita sudah bertemu Menkopolhukam Bapak Haji Wiranto. Beliau buka pintu dialog secara terhormat, mohon kita tindaklanjuti dengan menjaga persatuan NKRI. Tapi semangat jihad harus dijaga. [Yakni] Semangat revolusi damai. Revolusi akhlaq. Revolusi budi pekerti, dan revolusi prilaku." 

Bagaimana bisa seorang HRS, yang selalu dalam benak banyak orang itu selalu kontra pemerintahan, tetiba memunculkan idiom petahana terkait Revolusi Mental? Bagaimana posisi berseberangan selama ini, kemudian merekomendasikan ratusan ribu audiens yang hadir langsung (dan jadi jutaan dengan yang tak hadir langsung) agar mau membuka ruang dialog?

Itulah "kesaktian" komunikasi. Bahwa pertemuan face to face, bertukar pesan dan kata secara langsung, dalam kehangatan dan keakraban jarak dan waktu, serta spirit guyub masyarakat timur, bagaimanapun akan lebih efektif dan efisien dalam merekatkan banyak hal.

Ketika Presiden Jokowi relatif tak membuka ruang sebelumnya, dan kemudian diwakili Menkopolhukam Wiranto untuk bertemu HRS dan koleganya, maka nyatalah sudah tercipta "kesaktian" komunikasi lainnya yakni menyamakan persepsi yang sebelumnya bagai jarak bumi ke langit.

Bagaimana hasilnya? Sudah pasti, seperti dalam 212 tadi, rangkaian kata jadi lebih positif, lebih bermakna, dan menyejukkan situasi. Silahkan bandingkan dengan pidato dan pernyataan HRS sebelumnya dalam aksi sepanjang tahun 2016 --ketika pemerintah tak mengajak diskusi dan cenderung hanya buka pintu diskusi pada kelompok yang pro/netral/moderat.

Inilah efek dari Indonesia Bicara Baik. Sebuah konsep yang secara faktual dirilis pertama oleh Badan Pengurus Pusat Perhumas (Perhimpunan Hubungan Masyarakat) di bawah komando Agung Laksamana. Sebuah ide yang kian menemukan relevansinya pada saat ini.

Sekilas, pendekatan yang diusung terlihat sekedar hasil akhir bahwa semua komunikator berusaha menjadi menyajikan konten baik. Namun sesungguhnya, penekanan Indonesia Bicara Baik justru dalam prosesnya yang tak mudah dan mau dilakukan semua pihak.

Ketika HRS dalam hasil akhirnya secara empirik bicara lebih baik dan sejuk pada momen 212, sesungguhnya ada proses terjal dan berliku karena pemerintah sebelumnya cenderung menutup ruang diskusi sebelum akhirnya dibuka oleh Menkopolhukam Wiranto.

Ketika gerakan Islam kita rasakan kian hari kian moderat, maka itulah buah dari kemauan membuka ruang untuk berkomunikasi dan membuka ruang komunikasi justru terutama dengan mereka yang kontra, tidak sehaluan, bahkan nyinyir.

Inisiatif Humas Indonesia

Indonesia Bicara Baik, terutama dalam proses membuka komunikasi dan diskusi tersebut, selayaknya menjadi spirit kita bersama dalam hari-hari kebangsaan yang belakangan ini terasa lebih sesak dan kental ragam perbedaan.

Ini pula yang membuat penulis dan kolega di Perhumas Indonesia berusaha aktif mengampanyekan hal ini, termasuk dalam Konvensi Nasional Humas (KNH) 2016 di Bandung, Oktober lalu dengan membuka ruang komunikasi para pihak.

Berkaca pada ilustrasi HRS di atas, sekaligus merujuk pada hasil KNH 2016 (baca: Kode Etik Kehumasan), terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan insan humas seluruh Indonesia agar bersama mengampanyekan sekaligus melakukan Indonesia Bicara Baik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com