Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 18/09/2017, 08:25 WIB

KOMPAS.com - Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) yang sedang disusun oleh Pemerintah dan DPR RI harus tetap mengacu kepada amanat Mahkamah Konstitusi mengenai enam prinsip dasar pengelolaan sumber daya air. Hal itu demi menjaga terciptanya pengelolaan sumber daya air berkelanjutan.

Hal tersebut dicetuskan para ahli air Indonesia, baik pakar hukum sumber daya air maupun pakar sumber daya air dalam Kongres dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Ahli Airtanah Indonesia (PIT PAAI) 2017 di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.

Para ahli sepakat bahwa kebijakan tersebut juga perlu memfasilitasi dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan sehingga dapat menjadi payung hukum untuk menjawab tantangan besar yang saat ini dihadapi oleh bangsa Indonesia terkait pengelolaan sumber daya air.

Ada beberapa hal penting dalam pembentukan kebijakan RUU SDA yang perlu diperhatikan tersebut agar tetap mengacu kepada enam prinsip dasar pengelolaan SDA yang diputuskan oleh MK.

Pertama, perlunya definisi SDA yang jelas. Kedua, menjaga agar akses ke sumber air untuk kebutuhan masyarakat umum tidak terhalangi dan ketiga memastikan kepentingan semua pemangku kepentingan terjaga, serta mendorong semua pihak untuk dapat berperan mewujudkan pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan.

"Definisi usaha dan pengusahaan itu perlu penajaman, bukan hanya melihat aspek keuntungan, tapi juga volume. Air untuk sistem penyediaan air minum (SPAM) seharusnya tidak dikategorikan sebagai pengusahaan karena terkait hak atas air. Padahal, batasan dan syarat tertentu dan ketat dalam putusan MK justru terkait pengusahaan," ujar Mohamad Mova Al’Afghani, Direktur Center for Regulation, Policy and Governance (CRPG), dalam makalahnya, Senin (18/9/2017). 

Mova mengatakan, dalam RUU SDA disebutkan bahwa izin SPAM hanya diberikan kepada BUMN atau BUMD saja. Hal itu akan menutup kemungkinan masyarakat dan swasta untuk berkiprah dalam penyediaan akses bagi publik secara luas.

Selain itu, lanjut Mova, Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) disetarakan dengan SPAM. Padahal, itu tidak sesuai dengan Human Right to Water (HRTW).

"Bahwa akses bagi masyarakat haruslah melalui air perpipaan yang bisa diminum dengan harga terjangkau," kata Mova.

Selama ini, Mova menilai, pengutamaan BUMN/BUMD d iatas Unit Pengelola Teknis/Unit Pengelola Teknis Daerah (UPT/UPTD) dalam hal SPAM tidak tepat.

"Justru, hak penguasaan negara lebih dapat dilaksanakan pada UPT atau UPTD bukannya, BUMN atau BUMD, karena itu merupakan entitas terpisah. Sementara penelitian terkini mengenai korporatisasi di sektor air justru mengkritik korporasi negara yang berlaku seperti sektor privat yang mengejar keuntungan," ujarnya.

Studi kelayakan

Indonesia saat ini tengah menghadapi ancaman keberlanjutan daya dukung sumber daya air, ketidakseimbangan pasokan, menurunnya kemampuan penyediaan air, meningkatnya potensi konflik air, kurang optimalnya irigasi, meluasnya abrasi pantai, lemahnya manajemen dan rendahnya kualitas pengeloalaan data dan sistem informasi.

Untuk menjawab tantangan tersebut, perlu adanya kolaborasi antar pemangku kepentingan untuk tercapainya pengelolaan SDA yang berkelanjutan. Selain berbagai inisiatif para pihak, kebijakan yang tepat yang sejalan dengan enam prinsip MK juga dibutuhkan untuk  mendukung pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan.

Ketua Departemen Teknik Geologi FT UGM dan Ketua GWWG, Dr Heru Hendrayana, mengatakan bahwa sesuai prinsip MK, pengendalian izin dilakukan oleh pemerintah atas pertimbangan aspek ketersediaan SDA untuk menjamin keadilan dan daya dukung lingkungan hidup.

"Tapi, pengendalian izin harus dimaknai bahwa setiap orang atau badan hukum usaha yang telah memenuhi persyaratan dapat memohon izin kepada pemerintah. Pengendalian izin juga dapat dimaknai sebagai upaya untuk menjamin tidak adanya monopoli terhadap izin pengusahaan air bagi perorangan atau badan hukum tertentu," kata Heru.

Untuk itu pemerintah harus menyediakan data berupa neraca SDA pada setiap cekungan air tanah dan wilayah sungai serta melakukan pembaharuan data secara berkala. Dalam penyediaan data ini Pemerintah dapat melibatkan pihak universitas, swasta dan masyarakat.

Data tesebut dapat digunakan untuk memonitor perkembangan ketersediaan SDA.
Heru mengatakan, untuk memastikan ketersediaan SDA itu, di dalam RUU SDA haruslah dimasukkan syarat-syarat tertentu yang ketat sesuai prinsip kelima dan keenam MK. Hal tersebut dapat menggunakan syarat-syarat seperti tercantum dalam Peraturan Pemeritah No. 69 tahun 2014 tentang Hak Guna Air, pasal 61 dan 70 serta dengan menambah persyaratan:

"Semua izin alokasi penggunaan air harus didasarkan pada hasil studi kelayakan hidrogeologi dan atau hidrologi yang dilakukan oleh Pemerintah atau oleh swasta yang disetujui oleh pemerintah," ujar Heru.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com