BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan HighScope Indonesia

"Bully", Perkelahian di Tol, dan PR Besar Penyelesaian Konflik

Kompas.com - 04/06/2018, 09:17 WIB
Dimas Wahyu

Penulis

KOMPAS.com - Jadi laki-laki mesti kuat. Pesan umum semacam itu berulang dari zaman ke zaman untuk menguatkan mental anak yang kelak akan menjadi tumpuan. Namun, ironis. Pesan tersebut bisa menguap lantaran hubungan sang anak dengan sekelompok orang, atau bahkan satu orang di sekolah.

Sesuatu bisa membekas secara psikis karena aksi bernama bullying. Sang anak rentan memandang kelam sekolah, dan enggan terlibat lagi dalam kegiatan belajar-mengajar.

Baca: Anak SD Korban Perundungan di Jakarta Timur Minta Pindah Sekolah

Penyebabnya bisa tekanan verbal, bahkan kontak fisik. Tidak pandang bulu, apakah dia laki-laki ataupun perempuan.

Baca: Ini Kronologi "Bullying" Siswi SMP di Thamrin City

Bullying, "perundungan", "ditekan", ataupun "digencet" kini bukan lagi menjadi isu lokal. Bullying yang bisa menghinggapi anak-anak kapan dan di mana saja turut menjadi problem nasional, sampai-sampai merebut perhatian Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.

"Hentikan kekerasan. Ingat, kekerasan apa pun akan memberikan pengalaman buruk kepada teman-teman kita (sesama pelajar)," ujar Jokowi dikutip Kompas.com, Rabu (11/10/2017).

Jika bicara mengenai penyebab, bullying atau perundungan bisa bermula dari beragam hal. Kejadian di Thamrin City menjadi contoh bahwa konflik sosial diawali saling ledek dan memicu penyerangan berkelompok. Lainnya karena masalah perbedaan, seiring ketidakmampuan mengekspresikan pendapat.

Satu contoh yang juga cukup umum juga adalah hubungan senior dan yunior, yang menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy kerap terjadi pada masa kenaikan kelas dan masuknya peserta didik baru.

"Biasanya para senior itu memang sangat bergairah untuk cari perhatian, dan sering juga sangat bergairah untuk menunjukkan dominasinya. Ini biasanya musiman. Musim saatnya senior menunjukkan saya senior, ditunjukkan pada yuniornya. Kadang-kadang overacting, kadang-kadang melampaui batas kewajaran," ujarnya dikutip Kompas.com, Selasa (18/7/2017).

Konflik sosial semacam ini berkutat di tataran usia anak-anak. Meski demikian, konflik bisa dihadapi siapa saja, di rentang usia berapa saja.

Di lingkup orang-orang dewasa, konflik sosial bahkan bisa terjadi di tengah jalan. Misalnya perkelahian di tol yang kerap viral di media sosial, yang bahkan mematikan.

Baca: PNS Tewas Berkelahi Dipicu Rebutan Jalan di Tol, Polisi Turun Tangan

Apa yang salah?

Konflik sosial bukanlah hal yang diinginkan setiap orang. Makanya, konflik kerap kali dihindari, apalagi jika melihat contoh-contoh sebelum ini.

Ketika konflik terjadi, orang yang terlibat akan merasa stres, meninggikan volume suara, dan mengatakan hal-hal atau bahkan melakukan tindakan yang sering kali akan disesali setelahnya, seperti perkelahian berujung kematian di atas.

Namun, konflik tidak bisa dihindari. Karena itu pula, manusia kerap berusaha menata agar konflik tidak terjadi. Misalnya di lingkup keluarga, ketika seorang ibu mengarahkan dua anaknya untuk berbagi sebelum perkelahian terjadi. Namun, disadari atau tidak, ketika ibu tidak ada, maka konflik tidak terpecahkan.

Eric Jensen dalam bukunya, Brain Based Learning, mengatakan, memecahkan masalah adalah latihan “aerobik” bagi otak manusia. Menurut dia, konflik pada dasarnya memberikan kesempatan kita untuk belajar memecahkan masalah.

 

Ilustrasi otakPIXABAY.com Ilustrasi otak

Namun, menangani konflik agar tidak menjadi stres yang bersifat negatif membutuhkan beberapa keterampilan, seperti berkomunikasi, bernegosiasi, berempati, bekerja sama, dan melihat perspektif yang berbeda.

Pola pembelajaran ini pun dianggap penting bahkan sejak masa pendidikan usia dini, seperti yang diterapkan di HighScope. Anak-anak peserta didik di sekolah ini diajarkan untuk belajar mengekspresikan pendapat, tanpa membenci orang yang memiliki pendapat atau persepsi yang berbeda darinya.  

Saat terjadi konflik, HighScope berprinsip bahwa orang dewasa harus menempatkan diri sebagai mediator, bukan sebagai orang yang memecahkan masalah atau konflik untuk mereka. Tujuannya agar tiap-tiap anak belajar dan mahir memecahkan masalahnya sendiri.

Anak-anak belajar dari kesalahan. Dengan demikian, konflik sosial menciptakan dinamika kesempatan belajar. Dari sana, anak-anak akan termotivasi belajar karena adanya minat mereka untuk menyelesaikan masalahnya.

Kesalahan yang anak buat pun akan membuat mereka memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi perasaan masing-masing, mendengar dari sudut pandang yang berbeda, dan mendiskusikan ide-ide jalan keluarnya.

Ketika anak diajarkan tentang keterampilan bernegosiasi dan bermediasi, mereka akan menggunakan keterampilan-keterampilan ini di sekolah dan di rumah, di tempat yang sering kali terjadi konflik. Dengan menyadari kemampuan menyelesaikan permasalahannya, hal tersebut akan meningkatkan rasa percaya diri mereka.

Kesimpulannya, jika sekolah dan rumah konsisten dalam mengajarkan anak untuk menyelesaikan masalah, kita bisa mengikis hingga memupuskan PR besar yang kerap terjadi selama ini dalam menghadapi konflik sosial.


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau