Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ahmad Rizali
Pemerhati pendidikan

Pemerhati pendidikan, Kabid Pendidikan NU Circle, dan Presidium Gernas Tastaka

Indonesia Darurat Matematika!

Kompas.com - 24/09/2018, 07:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Latief

KOMPAS.com — Entah apa yang sudah dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), dinas pendidikan provinsi dan kabupaten kota dalam menyikapi fakta rendahnya keterampilan berhitung warga sekolah yang dikelolanya, selain mengucurkan Tunjangan Profesi Pendidik (TPP) yang tahun ini berjumlah lebih dari Rp 71 triliun di APBN, yang tak berdampak berarti kepada kenaikan kompetensi guru (De Ree dkk, WB 2016).

Apalagi, ketika keterampilan itu dijadikan tolok ukur kesiapan menghadapi era abad ke-21 dan sebuah studi terbaru (Amanda dkk, CFEE Annual Digest 2018) yang menyatakan bahwa anak muda Indonesia akan siap menghadapi abad ke-21, ketika abad ke-31 menjelang, karena studi tersebut menghitung bahwa selama sekian tahun sejak masuk SD hingga lulus SMA sekolah hanya meningkatkan keterampilan menghitung atau aritmatika sederhana dari peserta didik sebanyak nol koma nol sekian persen.

Hasil studi makro tersebut sejalan dengan hasil ulangan di sebuah kelas di SMA di Kalimantan Tengah yang diunggah oleh seorang guru (Rukim, 2018) pada awal September 2018. Ketika hasil studi itu didiskusikan dengan koleganya di pulau dan kota lain, hasilnya tak jauh berbeda.

Kesimpulannya, meski duduk di kelas IPA, murid tak terampil menyelesaikan operasi sederhana "tambah, kurang, kali dan bagi" termasuk pengertian "peratus atau prosen", perpuluhan dan pecahan. Padahal, sebuah operasi paling dasar dari aritmatika, seperti menyambung huruf membentuk kata dan kalimat "i-ni bu-di..." dalam konteks membaca dan menulis.

Satu catatan penting, yakni delapan tahun lalu, sudah diingatkan bahwa keadaan darurat buta matematika ini (Koran Tempo, 2008) dengan merujuk ke hasil uji PISA (Program for International Student Assesement) dan uji TIMSS (Trend for International Mathematic and Sciences Study) ketika peringkat siswa Indonesia kelas 2 SMP/MTs hanya selapis di atas Bostwana Afrika.

Ya, peringkat Indonesia nomor dua dari bawah! Sebuah kondisi buta total matematika, dan mereka diramalkan tak siap menghadapi abad ke-21.

Tulisan tersebut yang sudah pasti hanya sebuah peringatan kecil keadaan darurat, karena cukup banyak tulisan lain yang mengingatkan situasi serupa. Tapi, hal itu ternyata dianggap sepi oleh pemerintah yang menganggap semuanya baik-baik saja.

Gerakan transformasi eksponensial

Sikap "Complacency" yang menganggap sebuah persoalan darurat seperti angin lalu adalah sebuah pembiaran dan merupakan kejahatan publik berdosa besar. Persis seperti membiarkan seorang yang diketahui merokok sambil mengisi bensin atau membiarkan got lingkungan rumah tinggalnya penuh jentik nyamuk DBD.

Mirisnya, sulit berharap insiatif perbaikan tersebut datang dari pemerintah, apalagi jika mengikuti logika paper itu, bahwa baku mutu yang memenuhi syarat baru siap di abad ke-31.

Untuk itu, perubahan perbaikan keterampilan tersebut haruslah dimulai secara linier dengan sudut yang curam dan segera menjadi deret ukur atau eksponensial. Insiatif harus dimulai dari organisasi masyarakat sipil (civil society organisation) dan bersama sama membuat sebuah platform untuk berbagi peran.

Tidak sulit mengurainya, terutama jika kita mulai dengan menelaah beberapa Standar Nasional Pendidikan (SNP), yaitu Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Standar Isi (SI) dan Standar Proses (SP) untuk Matpel Matematika SD hingga SMP.

Begitu sudah diketahui "bottle-neck" dari telaah itu, kita ajak relawan yang faham operasi aritmatika dasar, yang dengan metodenya bisa saling memeriksa keterampilan putra-putrinya mulai SD sampai SMP dan mencari persoalan yang menghambat serapan mereka atas mata pelajaran tersebut.

Karena disebut matematika dasar seharusnya itu tidak rumit, karena terjadi kasat mata dalam kehidupan keseharian kita. Belanja ke pasar atau minimarket, kredit motor, membeli bakso, membayar zakat, menghitung hutang harian ke bank pasar, bahkan berbagi warisan peninggalan orang tua, semua memerlukan keterampilan dasar berhitung.

Maka, mereka yang sudah lulus SMA, meskipun mungkin lupa, pasti akan mudah mengingat kembali, apalagi mereka yang lulus di bidang Rekayasa dan MIPA seharusnya masih terampil.

Gerakan ini sulit dan akan menjadi masif, bahkan terukur jika tak dirancang dengan baik. Untuk itu, setiap pemangku kepentingan harus dipetakan perannya, termasuk yang hanya mampu menyumbang uang, bukan keterampilan.

Uang sangat berarti, tapi sebuah gerakan lebih memerlukan semangat berbagi apa yang dimiliki dan tentu kesadaran kondisi darurat, baik dari si penerima manfaat (guru dan murid) atau pemangku kepentingan lain.

Hal tersulit dalam menggelindingkan gerakan ini menjadi bola salju adalah meyakinkan semua pemangku kepentingan, terutama orangtua murid (Sumintono, 2017) bahwa kondisi sudah darurat nasional, karena sikap "complacency" itu sangat sulit berubah, dan sama sulitnya meyakinkan akan adanya banjir bandang jika hutan di ketinggian tidak dijaga, kecuali langsung mengalami sendiri.

Tetapi, pertanyaannya, akankah kita menunggu datangnya abad ke-31 barulah di liang kubur kita berteriak, siapkah akhirnya cucu dan cicit kita menghadapi abad-21?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terkini Lainnya

Syarat Nilai Rapor dan Fisik Politeknik Siber dan Sandi Negara, Bisa Kuliah Gratis
Syarat Nilai Rapor dan Fisik Politeknik Siber dan Sandi Negara, Bisa Kuliah Gratis
Edu
Kriteria Hewan Kurban yang Sehat Menurut Pakar IPB University
Kriteria Hewan Kurban yang Sehat Menurut Pakar IPB University
Edu
Materi Ujian Nasional Versi Baru SD-SMA, Siswa Segera Cek
Materi Ujian Nasional Versi Baru SD-SMA, Siswa Segera Cek
Edu
Bukan Pukul 06.30, Intip Jam Masuk Sekolah di 3 Negara Ini
Bukan Pukul 06.30, Intip Jam Masuk Sekolah di 3 Negara Ini
Edu
Atasi Kesenjangan Kompetensi, ICE Institute Hadirkan “Career Guidance Platform”
Atasi Kesenjangan Kompetensi, ICE Institute Hadirkan “Career Guidance Platform”
Edu
Tim Peneliti Polimedia Kenalkan Teknologi Kemasan Aktif MAP, Perpanjang Masa Simpan Tepung Talas
Tim Peneliti Polimedia Kenalkan Teknologi Kemasan Aktif MAP, Perpanjang Masa Simpan Tepung Talas
Edu
LPDP Beri 3 Opsi buat Mahasiswa, Dampak Kebijakan Imigrasi Amerika Serikat
LPDP Beri 3 Opsi buat Mahasiswa, Dampak Kebijakan Imigrasi Amerika Serikat
Edu
Kisah Nuzula, Peserta UTBK 2025 dengan Nilai Tertinggi di Unesa, Pilih Kedokteran
Kisah Nuzula, Peserta UTBK 2025 dengan Nilai Tertinggi di Unesa, Pilih Kedokteran
Edu
UNJ Raih Penghargaan 'Perguruan Tinggi dengan Permohonan Hak Cipta Terbanyak 2015-2024' Kemenkum
UNJ Raih Penghargaan "Perguruan Tinggi dengan Permohonan Hak Cipta Terbanyak 2015-2024" Kemenkum
Edu
Kisah Elsa, Anak Marbot Masjid Masuk UGM Tanpa Tes dan Dapat Beasiswa
Kisah Elsa, Anak Marbot Masjid Masuk UGM Tanpa Tes dan Dapat Beasiswa
Edu
AS Hentikan Sementara Penerbitan Visa Pelajar, Bagaimana Nasib 'Awardee' LPDP?
AS Hentikan Sementara Penerbitan Visa Pelajar, Bagaimana Nasib "Awardee" LPDP?
Edu
Permendikdasmen Baru: Hasil TKA SD-SMA buat SPMB dan Masuk Jalur SNBP
Permendikdasmen Baru: Hasil TKA SD-SMA buat SPMB dan Masuk Jalur SNBP
Edu
Biaya Kuliah Institut Teknologi PLN 2025, Ada Gratis Kuliah sampai Lulus
Biaya Kuliah Institut Teknologi PLN 2025, Ada Gratis Kuliah sampai Lulus
Edu
Kisah Nuzula, Sudah Kuliah di FKG, Daftar FK Unesa dan Raih Skor UTBK Tertinggi
Kisah Nuzula, Sudah Kuliah di FKG, Daftar FK Unesa dan Raih Skor UTBK Tertinggi
Edu
Wamendikti Stella Hitung Peluang Timnas Indonesia Lolos Piala Dunia 2026
Wamendikti Stella Hitung Peluang Timnas Indonesia Lolos Piala Dunia 2026
Edu
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau