KOMPAS.com – Seiring dengan dunia yang memasuki revolusi industri 4.0, maka pemanfaatan robot dan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dalam proses produksi manufaktur akan semakin lazim. Perubahan ke arah automasi tersebut bisa mendatangkan berbagai dampak kepada para pekerja industri.
Seperti dilansir Kompas.com, Selasa (24/4/2018), Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) menyatakan bahwa akan ada jenis pekerjaan yang hilang seiring berkembangnya revolusi industri 4.0.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pembinaan, Pelatihan, dan Produktivitas Kemenaker Bambang Satrio Lelono menyampaikan, sebanyak 57 persen pekerjaan yang ada saat ini akan tergerus oleh robot.
Namun, masih menurut artikel tersebut, di balik hilangnya beberapa pekerjaan akan muncul juga beberapa pekerjaan baru. Bahkan, jumlahnya diprediksi sebanyak 65.000 pekerjaan.
Bambang mengatakan, yang harus dilakukan sekarang adalah menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Pertanyaannya, apa saja yang harus disesuaikan?
Berdasarkan paparan artikel di laman World Economic Forum, untuk bisa beradaptasi dengan perubahan yang dibawa oleh revolusi industri 4.0, seorang pekerja harus memiliki kemampuan yang tidak akan bisa dilakukan oleh mesin. Misalnya, kemampuan untuk memecahkan masalah atau kreativitas.
Soft skill adalah kunci
World Economic Forum juga merilis 10 skill yang mutlak dibutuhkan para pekerja untuk bisa menghadapi perubahan pada 2020 dan seterusnya, terutama karena adanya Industri 4.0. Skil tersebut di antaranya pemecahan masalah yang komplek, berpikir kritis, kreativitas, manajemen manusia, berkoordinasi dengan orang lain, kecerdasan emosional, penilaian dan pengambilan keputusan, berorientasi servis, negosiasi, dan fleksibilitas kognitif.
Menariknya, lebih dari setengah skil tersebut merupakan soft skill. Artinya, soft skill menjadi salah satu faktor paling penting untuk dimiliki para pekerja di masa depan, seperti kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain, memecahkan masalah, serta aspek kecerdasan emosional lainnya.
Untuk itu, generasi milenial yang lahir pada medio 1980 – 1999 harus mulai mengasah soft skill mereka. Hal itu karena masa depan manufaktur Indonesia berada di tangan mereka.
Selain pendidikan di dalam lingkungan keluarga, tempat lain untuk mengasah soft skill yang dibutuhkan di dunia kerja adalah lembaga pendidikan.
Beberapa lembaga pendidikan pun, terutama perguruan tinggi, sudah menyadari pentingnya pendidikan soft skill untuk para mahasiswanya.
Perguruan tinggi saat ini tak hanya membekali anak didiknya dengan ilmu pengetahuan dan hard skill, tetapi juga mulai melakukan pengembangan soft skill.
Salah satu lembaga pendidikan yang menerapkan pengembangan soft skill kepada mahasiswanya adalah BINUS ASO School of Engineering (BASE). Kampus ini secara konsisten mendidik dan mempersiapkan anak didik mereka agar kelak memiliki soft skill yang menjadi tuntutan dalam era revolusi industri 4.0.
BINUS ASO School of Engineering merupakan program kerja sama antara BINUS University dengan ASO Collage Group, salah satu sekolah robotik terkemuka di Jepang. Sekolah teknik yang berdiri sejak 2014 ini memiliki dua jurusan unggulan, yakni Automotive and Robotics Engineering (ARE) dan Product Design Engineering (PDE).
Untuk menghasilkan lulusan dengan soft skill kompeten di bidangnya, kampus ini menerapkan pendidikan dua arah. Yakni, mahasiswa dilibatkan dalam proses belajar dan kehidupan kampus secara terstruktur dan terintegrasi.
"Kami percaya dan kami latih anak-anak ini untuk bisa bersikap kritis tanpa harus menyingung perasaan orang lain. Kami juga memperlakukan mereka sebagai individu cerdas, bukan benda. Individu yang bisa terus belajar dan beradaptasi. Dari situlah nilai-nilai pendidikan yang dibutuhkan dewasa ini kita tanamkan, dan perubahan perilaku bisa terjadi karena mereka memilih demikian," ucap Dean of BINUS ASO School of Engineering Dr. Ho Hwi Chie, Selasa (16/10/2018).
Perempuan yang akrab disapa Wiwi ini menuturkan bahwa proses pembentukan karakter dan soft skill mahasiswa tanpa paksaan tersebut dapat membawa hasil yang langgeng. Sebab, keinginan untuk berubah berasal dari diri mahasiswa itu sendiri.
Salah satu cara BINUS ASO melatih soft skill mahasiswanya adalah dengan independent session yang merupakan waktu bebas di luar kelas. Mahasiswa dibebaskan menggunakan independent session ini dengan berbagai kegiatan positif dan bertanggung jawab.
Para bisa menggunakan waktu tersebut untuk berolahraga, istirahat, diskusi, mengerjakan tugas dan proyek. Mereka juga bisa mengajukan pembuatan klub-klub yang mereka inginkan ke pihak kampus.
Lebih dari itu, menurut Wiwi, melalui independent session, soft skill mahasiswa akan semakin terasah. Mereka dapat belajar untuk bisa memiliki inisiatif, berkoordinasi dengan orang lain, belajar tentang cara menyampaikan pendapat mereka dengan baik dan benar, berkomunikasi dengan baik, dan bertanggung jawab.
Keseriusan BINUS ASO dalam mendidik mahasiswanya pun memberikan hasil yang baik. Menurut Wiwi, angkatan pertama mereka yang lulus pada 2018 ini semuanya sudah mendapat pekerjaan sebelum diwisuda.
Salah satunya adalah David Oenjoyo. Satu bulan sebelum mengikuti sidang skripsi, mahasiswa jurusan Automotive and Robotics Engineering (ARE) itu sudah bekerja di sebuah perusahaan.
Awalnya, David merasa terbebani untuk mengisi waktu kosong sebelum sidang skripsi tersebut dengan mencari kerja. Namun, pada akhirnya dia menyadari bahwa kegiatan tersebut membawa manfaat tersendiri.
Saat proses mencari kerja David mendapat tawaran pekerjaan dari sebuah perusahaan rintisan. Meskipun bukan perusahaan besar, David mengaku tidak ragu untuk menerima tawaran yang diberikan.
"Yang membuat saya tertarik adalah perusahaan ini memang masih kecil, tapi punya potensi maju ke depannya. Nah, saya ingin menjadi orang yang membuat perusahaan kecil ini menjadi berkembang dan menjadi lebih besar," tutur David.
Kemampuan teknis dan soft skill yang dimiliki David ternyata disukai oleh perusahaan. David menuturkan, setelah 3 bulan bekerja dirinya berhasil mendapatkan promosi kenaikan jabatan. Kinerjanya dinilai mantap untuk promosi tersebut.
Sebagai dekan, Wiwi menilai keberhasilan David dalam pekerjaannya merupakan contoh sukses dari lulusan yang siap latih. Menurut dia, sepintar apapun seseorang pasti akan sulit mendapatkan promosi apabila perusahaan tidak melihatnya sebagai karyawan yang dapat terus dikembangkan dan memiliki komitmen tinggi bagi organisasinya.
"Yang kami latih adalah soft skills yang memang dibutuhkan oleh industri dewasa ini, sesuai dengan berbagai masukan yang kami terima dalam berbagai forum diskusi dengan pihak industri. Pada umumnya, industri menekankan kebutuhan akan karyawan yang bisa terus belajar, cepat beradaptasi dan melek teknologi," ucap Wiwi.
Dia berharap, melalui sistem pendidikan yang juga menekankan pengembangan soft skill, selain keterampilan teknis, generasi milenial ke depan bisa lebih mampu beradaptasi secara cepat terhadap perubahan dan memiliki bekal mumpuni untuk menghadapi masa depan dan pengembangan karirnya di tengah geliat revolusi industri 4.0.