DEN HAAG, KOMPAS.com - Kekerasan seksual menjadi perhatian utama para mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda. PPI Belanda di Den Haag membentuk advokasi sebagai bidang khusus yang nantinya tidak hanya fokus mengurus masalah legal, tapi juga kesejahteraan mahasiswa Indonesia di Belanda.
Perbincangan mengenai advokasi itu mengemuka usai diskusi 'Kekerasan Seksual dalam Mitigasi, Trauma dan Sorotan Media' di Bookstore Cafe, Den Haag, Sabtu (17/11/2018). Hadir pada diskusi tersebut perwakilan media Erasmus Rotterdam, Peer Consular Student dari ISS, praktisi gender, serta jurnalis.
Diaz LA Ichsan, mahasiswa S-2 tahun pertama di Development Study Justice Perspective ISS Den Haag, mengatakan bahwa isu pemerkosaan yang diangkat PPI Belanda ini berangkat dari komparasi isu pemerkosaan beberapa waktu lalu di Rotterdam dan maraknya kekerasan seksual di Indonesia.
"Kita tidak membahas ini berdasarkan isu, tapi lebih ke pemikiran risiko dari isu tersebut. Kita jadikan isu itu sebagai momentum, seperti RUU kekerasan seksual yang masih mandeg di DPR. Adanya banyak isu kekerasan seksual ini harusnya jadi momentum DPR untuk menyelesaikannya, jangan sampai menunggu ada korban lagi.
Diaz menyadari, bahwa ternyata banyak kampus di Belanda yang bahkan tidak memiliki kebijakan untuk menangani masalah kekerasan seksual ini. Salah satu kampus, yakni ISS, hanya punya public relation (PR) counselor, yang begitu ada mahasiswa mengalami masalah kekerasan seksual barulah bisa mendiskusikannya.
"Di Indonesia pun belum ada kesadaran itu. Ini yang mau kami soroti. Untuk tingkat SMA malah ada Permendikbud yang bisa menangani hal ini, tapi di level perguruan tinggi malah tidak ada," kata Diaz.
Fathimah Sulistyowati, mahasiswi PhD fakultas kedokteran spesialis Endokrinologi di Leiden University mengakui, bahwa selama ini isu kekerasan seksual yang dialami perempuan cenderung menjadikan korban yang ikut disalahkan. Bagi mahasiswi Indonesia di Belanda, terutama jika dikaitkan isu Rotterdam, harus punya keperdulian tinggi dengan persoalan itu.
"Tapi, nafas yang mau kita bawa itu adalah kekerasan seksual bukan sesuatu yang jauh ke ranah legal, itu jauh banget. Kita mengarahkan agar mahasiswa dan mahasiswi bisa berbuat sesuatu. Kasus Rotterdam itu pelajaran bukan cuma untuk anak Indonesia tentunya, tapi bahkan masyarakat Belanda sendiri sehingga bukan hanya mahasiswa Indonesia yang bergerak, tapi juga masyarakat Rotterdam pun protes, dan bikin dukungan untuk korban dan polisi agar mengusut kasus itu," ujar Fathimah.
Dia berujar, para mahasiswa di PPI Belanda sepakat agar identitas korban tidak dibuka. Perspektif itulah yang menurut Fathimah akan diarahkan ke media, bahwa victim atau korban bukanlah bungkus yang bagus untuk pemberitaan.
Terkait upaya itulah, Ketua PPI Belanda, Atika Almira, mengatakan bahwa kesepakatan untuk menutup identitas korban dan tidak menjadikan korban sebagai "bungkus" pemberitaan media sebagai lanjutan untuk memperkuat tim advokasi PPI Belanda.
Mahasiswi tahun pertama yang tengah menempuh S-2 di Urban Management and Development Erasmus University Rotterdam ini menegaskan bahwa PPI akan menularkan upaya-upaya tersebut. Dia berharap pergerakan yang dilakukan PPI dari lingkungan akademis bisa menjadi satu pencerahan.
"Harus kita tekankan bahwa tindakan kita akan mempengaruhi kondisi korban, kita tak bisa membedah kasus dari subyektifitas korban. Nah, berangkat dari beberapa kasus di Indonesia seminggu lagi juga akan ada acara terkait kekerasan terhadap perempuan, dan ada hari HAM Sedunia sehingga kami akan mambuat bikin diskusi lagi. Isu-isu kekerasaan terhadap perempuan masih sangat tabu di kalangan orang Indonesia sehingga harus jadi konsentrasi kami juga di sini," tambah Atika.
Terkait bidang advokasi, lanjut Atika, tujuan awalnya adalah sebagai wahana bagi semua mahasiswa atau mahasiswi untuk bisa melapor. Dari situ upaya selanjutnya adalah memberikan keperdulian terhadap korban agar korbant tidak merasa sendiri.
"Ketakutan soal kasus Rotterdam itu ada, tapi sebegai obrolan di antara kaum perempuan saja. Sekarang mahasiswi dan mahasiswa Indonesia sudah saling mengingatkan untuk tidak pulang malam-malam sendirian, dan masuk rumah pintu harus tertutup secara benar. Bukan takut sih, tapi lebih waspada. Kita tidak perlu takut kuliah di Belanda hanya lantaran kasus itu," kata Atika.
"Lebih dari itu, kami ingin membentuk awareness soal social movement yang baru bahwa persoalan kekerasan seksual bisa diselesaikan bersama-sama. Kita mau dorong DPR agar menyelesaikan pembahasan penghapusan RUU kekerasan seksual dan aturan-aturan turunannya. Itu PR besar DPR," tambahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.