KOMPAS.com – Penerapan sistem zonasi pada Pendaftaran Penerimaan Siswa Baru (PPDB) 2019 mensyaratkan bahwa jarak dari rumah ke sekolah menjadi prioritas, bukan nilai rapor dan ujian nasional.
Sistem ini menimbulkan pro dan kontra berbagai kalangan masyarakat karena dalam pelaksanaannya ditemui berbagai masalah di lapangan.
Merespons hal itu, pengamat pendidikan Ahmad Rizali mengatakan, ada empat perbaikan yang perlu diperhatikan pemerintah terkait pelaksanaan sistem zonasi pada PPDB kali ini.
Menurut dia, belum banyak pihak yang mengerti tentang pelaksanaan sistem zonasi pada PPDB kali ini, termasuk para kepala daerah. Maka dari itu, hal pertama yang harus diperbaiki yaitu mereka harus menyatukan visi bersama Kemendikbud sehingga bisa sejalan.
“Menyinkronkan visi Kemendikbud dengan sebagian provinsi, kabupaten atau kota,” ujar Ahmad saat dihubungi Kompas.com, Rabu (19/6/2019).
Baca juga: Ini Dia Seputar Sistem PPDB 2019 yang Penting untuk Anda Ketahui
Hal kedua, yakni pemerintah pusat dan daerah belum menyatu dalam pelaksanaan sistem zonasi. Dalam hal ini, pemerintah pusat adalah Kemendikbud, sedangkan pemerintah daerah yaitu kepala daerah di tingkat provinsi dan kota atau kabupaten.
Salah satu yang dinilai menjadi masalah adalah belum ada lembaga yang bisa memberi solusi jika terjadi masalah di lapangan. Belum ada lembaga bersama yang diistilahkan dengan clearing house, yang mampu menyelesaikan problem saat pelaksanaan PPDB.
“Membuat clearing house untuk menyelesaikan masalah yang timbul,” imbuh Ahmad.
Kemudian, lanjutnya, perbaikan ketiga yang mesti dilakukan adalah menyuarakan dan memviralkan hasil kajian yang digunakan sebagai dasar permberlakuan sistem zonasi. Hal ini penting dilakukan untuk kepentingan publik.
Terakhir, perbaikan keempat yaitu melakukan persiapan terhadap para kepala sekolah dan guru di sekolah favorit agar mereka mampu menghadapi penerapan sistem zonasi.
Sebab, selama ini mereka dimudahkan dengan memiliki siswa yang pandai dan bisa dibilang cukup dari segi ekonomi. Namun, pemerintah bisa melakukan hal itu secara bertahap.
“Menyiapkan kepsek dan guru sekolah favorit dengan sistem zonasi karena mereka tidak siap. Terbiasa punya murid pintar dan cukup dana,” tambahnya.
Sebelumnya, Ahmad berpendapat bahwa sistem zonasi layak dilaksanakan untuk meniadakan keberadaan sekolah favorit. “Saya pro dengan sistem zonasi karena favoritisme sekolah itu membunuh mereka yang marjinal,” kata Ahmad.
Sekolah favorit pernah dilaksanakan di Indonesia, salah satunya dalam bentuk Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) tetapi kemudian dihapus Mahkamah Konstitusi pada 2013.
Bagi dia, belum banyak pihak mengerti tentang pelaksanaan sistem zonasi pada PPDB kali ini, termasuk para kepala daerah. Ketidakmengertian itu menimbulkan protes dari mereka, selain karena adanya faktor kepentingan masing-masing.
“Esensi sistem zonasi belum dipahami banyak gubernur dan bupati atau wali kota. Tentu karena berbagai kepentingan, mereka memprotes sistem ini,” ucapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.