BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Sido Muncul

Seminar Herbal bagi Akademisi Kedokteran, Upaya Menggali Potensi Tanaman Herbal Indonesia

Kompas.com - 29/07/2019, 17:39 WIB
Anissa DW,
Kurniasih Budi

Tim Redaksi

KENDARI, KOMPAS.com – Indonesia negeri yang kaya raya ternyata bukanlah isapan jempol belaka, sebab negara kepulauan ini memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.

Indonesia dinobatkan sebagai salah satu negara Mega Biodiversity di dunia karena memiliki tingkat endemisme atau keunikan ekologi tinggi. Level organisme dalam struktur geografi pun sangat tinggi, termasuk dalam hal keanekaragaman tumbuhan.

Menurut data Riset Tumbuhan dan Jamu pada 2012-2017 yang dilakukan Kementerian Kesehatan, Indonesia memiliki 30.000 - 40.000 jenis tumbuhan. Sebanyak 6.000-7.500 di antaranya merupakan tanaman obat.

Salah satu wilayah yang punya banyak jenis tanaman herbal adalah Sulawesi Tenggara. Provinsi ini memiliki beragam tumbuhan yang tidak bisa ditemukan di daerah lain, seperti komba-komba dan bunga merah (Calerodendrum speciosissimun).

Tanaman-tanaman herbal itu pun memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi obat herbal. Namun, tentunya hal itu tidaklah mudah. Harus ada penelitian-penelitian yang mendukung dan membuktikan kandungan serta khasiatnya.

Riset tanaman herbal

Karena potensi itu, I Sahidin, seorang profesor dan guru besar di Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo, Kendari, fokus meneliti tanaman herbal di Sulawesi Tenggara sejak 2007.

Bahkan, pada 2012 dan 2015, Sahidin bersama timnya mendapat bantuan dana dari Kementerian Kesehatan melalui Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (Ristoja) untuk meneliti dan melakukan invetarisasi tanaman-tanaman herbal di Sulawesi Tenggara.

Melalui riset selama kurang lebih 10 tahun, dia bersama timnya berhasil menginventarisasi lebih dari 1.000 tanaman herbal, 1.000 ramuan tradisional, dan 10 sub etnik di Sulawesi Tenggara.

Dari sekian banyak tanaman herbal itu, sejak 2015 Sahidin fokus meneliti salah satu tumbuhan khas Sulawesi Tenggara, yakni jahe dengan genus etlingera.

“Tanaman etlingera di Sulawesi itu ada 48 jenis. Sementara di pulau Jawa hanya ada 6 jenis, sehingga riset kami fokus ke sana. Jadi, kami mencari sesuatu yang baru,” ujar pria asal Jawa Barat ini.

Di Sulawesi Tenggara sendiri, imbuh Sahidin, ada 14 jenis etlingera. Sayangnya, belum semuanya bisa dipelajari. Sahidin mengaku, risetnya memiliki beberapa kendala, seperti masih terbatasnya teknologi dan sumber daya manusia.

Kolaborasi dengan industri

Untuk itu, dia berharap banyak pihak mau mendukung dan berkolaborasi dalam penelitian tanaman herbal di Indonesia, terutama para pelaku industri jamu, seperti PT. Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul, Tbk.

Para pembicara yang mengisi acara Seminar Herbal ke-44 yang diselenggarakan oleh Tolak Angin Sido Muncul di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (27/7/2019).KOMPAS.com/ANISSA DEA WIDIARINI Para pembicara yang mengisi acara Seminar Herbal ke-44 yang diselenggarakan oleh Tolak Angin Sido Muncul di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (27/7/2019).

“Indonesia kan kaya akan tanaman obat dan ramuan-ramuan. Kalau industri tidak masuk, ya kasihan juga,” ucap Sahidin kepada Kompas.com, Sabtu (27/7/2019).

Menanggapi hal tersebut, RnD Manager Sido Muncul Wahyu Widayani menjelaskan, untuk industrialisasi tanaman herbal baru tidak mudah karena ada berbagai syarat dan pertimbangan yang harus dipenuhi.

Menurutnya, tanaman herbal harus terdaftar dalam monografi obat tradisional serta memenuhi aturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Misalnya, teregistrasi di BPOM serta memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan atau khasiat.

“Kami tentunya bisa industrialisasi jika bahan-bahan itu sudah teregistrasi. Jadi, kalau bisa teregistrasi kemudian selaras dengan produk-produk kami yang lain, tentu bisa kami olah bersama,” terangnya.

Di sisi lain, Wahyu mengakui, hingga saat ini pihaknya memang belum pernah melakukan industrialisasi dari hasil riset tanaman herbal. Pasalnya, untuk mencapai tahap itu, diperlukan studi cukup panjang.

“Jika kami mau mengkomersialisasikan hasil riset, tentunya harus didasari berbagai pertimbangan. Di antaranya formulasi, tampilan, dan sisi marketing,” papar Wahyu.

Meski begitu, dirinya menegaskan, Sido Muncul sangat terbuka untuk melakukan riset kolaborasi antara institusi pendidikan dengan industri.

“Kolaborasi riset itu dimungkinkan. Selama ini kami banyak lakukan dengan mahasiswa dari Universitas Diponegoro,” terang dia.

Seminar herbal

Sebagai salah satu wujud keterbukaan dan keseriusan dalam mendukung riset tanaman herbal di Indonesia, Tolak Angin Sido Muncul menyelenggarakan seminar herbal bertema “Pengenalan dan Pemanfaatan Produk Herbal Untuk Mencapai Indonesia Sehat.”

Dalam penyelenggaraannya, Tolak Angin Sido Muncul bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo, Ikatan Apoteker Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia, dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Seminar yang dihadiri oleh 250 peserta dari kalangan kedokteran, peneliti, dan mahasiswa itu diselenggarakan di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (27/7/2019).

Untuk diketahui, seminar herbal di Kendari menjadi seminar ke-44, yang diselenggarakan Tolak Angin Sido Muncul sejak 2007. Beberapa kota yang pernah disinggahi antara lain, Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Medan, Lampung, Pekanbaru.

“Melalui seminar herbal seperti ini kami berharap akademisi kedokteran terdorong untuk terus melakukan penelitian tanaman obat secara ilmiah. Tidak hanya bergantung kepada obat modern yang berbasis kimia,” ujar Irwan Hidayat, Direktur PT. Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk.

Selain itu, Irwan menginginkan dunia kedokteran mendapat wawasan lebih luas mengenai industri jamu, penelitian yang Sido Muncul lakukan untuk mengembangkan produk, serta penggunaan jamu untuk pelayanan kesehatan.


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com