Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengelola Gangguan Emosi di Kampus dan Tempat Kerja

Kompas.com - 14/11/2022, 10:59 WIB
Ayunda Pininta Kasih

Penulis

(Penulis: AM. Unggul Putranto, Ketua Satuan Pengawasan Internal Universitas Pertamina)

KOMPAS.com - Di sekolah tingkat menengah maupun perguruan tinggi, bukan tidak mungkin menemukan siswa maupun mahasiswa yang mengalami gangguan mental atau emosi tertentu yang berpotensi menyebabkan tidak berkembangnya prestasi siswa.

Sekitar sebulan lalu, berita mengejutkan datang dari seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) berusia 18 tahun yang melakukan upaya bunuh diri dengan melompat dari sebuah hotel di Jalan Kolombo Yogyakarta (Kompas, 8 Oktober 2022).

Di dalam saku pakaian korban, ditemukan surat dari psikolog rumah sakit, yang sampai saat ini, isinya belum diungkap oleh pihak berwajib.

Baca juga: Tembus UniRank, Ini Langkah Universitas Pertamina untuk Mencetak Mahasiswa Berkualitas

3 faktor penyebab munculnya gangguan emosional

Ada beberapa alasan yang membuat AM. Unggul Putranto, Ketua Satuan Pengawasan Internal Universitas Pertamina terkejut akan peristiwa itu, yakni korban masih belia, mahasiswa baru, termasuk karena dirinya “pernah” menjadi psikolog.

Atas kejadian tersebut, ia mengulas tentang peran psikologi sebagai ilmu di dunia pendidikan dan industri pada umumnya.

Secara umum, terdapat tiga faktor yang menyebabkan munculnya gangguan tersebut, yaitu aspek emosional, aspek kognitif, dan aspek hubungan interpersonal.

Seorang individu bisa mengalami masalah dari salah satu aspek ataupun gabungan dari ketiganya. Jika ketiga aspek tadi saling berinteraksi, gangguan yang dialami akan semakin kompleks. Ketiganya bisa saling menguatkan maupun menetralkan gangguan yang muncul.

Baca juga: 5 Tips Atasi “Parental Burnout”, Stres yang Dialami Orangtua

Tekanan di dalam keluarga

Penyebab kemunculan gangguan akibat aspek emosional sangat beragam dan unik. Tekanan di dalam keluarga, bisa menjadi salah satu penyebabnya.

Anak yang dalam keluarganya sering di-bully atau diledek oleh saudaranya, bisa jadi akan merasa inferior di sekolah. Emosi juga dapat dilampiaskan kepada teman sekolahnya secara meledak-ledak dan agresif.

“Bagaimana sih kamu, sudah dikursuskan mahal-mahal, nilai matematikanya tetap saja merah?”. “Lihat, tuh, adik kamu, tidak ikut kursus tetapi nilainya bagus”. Atau “Mama gak mau kasih kamu pulsa telepon kalau nilaimu jelek.”

Dari ketiga contoh tersebut, orangtua cenderung berorientasi pada hasil, tidak berusaha mencari tahu apakah anaknya mempunyai masalah dengan prestasinya. Mungkin mereka mempunyai hambatan dengan guru atau teman sekolah.

Atau mungkin ia dinilai “berbeda” oleh lingkungannya, misal dalam hal berpakaian, berkomunikasi, gaya rambut dan sebagainya. Hal-hal tersebut bisa menyebabkan gangguan emosi seperti perasaan tidak berarti, minder, mudah marah, frustasi dan sebagainya.

"Hal ini tidak hanya terjadi di dunia pendidikan. Di perusahaan atau instansi contoh-contoh seperti pada anak-anak tersebut sangat mungkin terjadi. Seorang teman yang juga psikolog membagikan pengalamannya ketika mendampingi karyawan di suatu perusahaan BUMD," ucap Unggul.

Tanpa menyebutkan identitas klien dan perusahaannya, sang psikolog bercerita bahwa kliennya menjadi minder karena body shaming di lingkungan kerja. Klien tersebut menjadi depresi dan memilih untuk mengurung diri. Kondisi tersebut berpengaruh pada hasil performance appraisal-nya.

Baca juga: Mengapa Pasangan Selingkuh? Tim Peneliti Ungkap 8 Penyebab

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com