Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka Tidak Lupa Bersyukur

Kompas.com - 28/05/2012, 11:24 WIB

Langkah-langkah kaki itu mantap beriringan. Berjalan pelan menuju Pura Giri Kencono sebagai tempat ibadah umat Hindu di pegunungan Tengger di Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo.

Dengan menyunggi banten atau persembahan berisi nasi tumpeng, buah-buahan, dan aneka makanan lainnya, siswa-siswi Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Sumber, Sabtu (26/5), menggelar ritual Tirta Yatra, yaitu mengunjungi tempat suci untuk berdoa.

”Tujuan kami untuk bersyukur bahwa kami sudah diberi kelulusan. Hasil belajar kami selama tiga tahun ini tak sia-sia,” kata Jundri, siswa kelas III SMKN 1 Sumber. Sekolah tersebut lulus 100 persen pada tahun 2012. Dari 20 siswanya, semuanya lulus dengan nilai memuaskan.

Jundri mengaku lebih memilih merayakan kelulusan dengan berdoa pada Sang Hyang Widhi Wasa. Bukan corat-coret baju, konvoi kendaraan bermotor, atau berpesta pora yang hanya kesenangan pribadi semata.

”Kalau hanya berhura-hura maka yang senang mungkin diri kita saja. Bisa jadi orang lain seperti pengguna jalan merasa terganggu dan bising. Kalau sudah begini, tindakan kita membawa dampak tak baik bagi orang lain,” ujar Jundri.

Bagi anak muda Tengger itu, tiga tahun belajar yang berakhir lulus harus disyukuri dengan tindakan yang baik. ”Tindakan baik ini tidak untuk kita sendiri, tapi juga orang lain,” ujarnya.

Erna, siswi Tengger lain, merayakan kelulusan dengan berterima kasih kepada Tuhan sudah semestinya. ”Saya sudah diizinkan bersekolah dengan baik, dan kini diberi kelulusan dengan baik pula. Sudah sepantasnya saya berterima kasih atas semua pemberian ini,” ujarnya.

Pandangan anak-anak Tengger dari Kecamatan Sumber, Probolinggo, ini tidak berlebihan. Sejak kecil mereka dididik dengan ajaran agama yang ketat.

”Anak-anak kami sejak kecil sudah dididik dengan berpegang pada ajaran catur sinanggah guru. Yaitu berbakti kepada Tuhan, orangtua, guru, atau pengajar, serta pemerintah. Harapannya, saat dewasa mereka bisa terjun ke masyarakat dengan baik,” ujar Supriadi, tokoh Tengger asal Desa Pandansari, Kecamatan Sumber.

Rasa syukur yang dilakoni siswa/siswi ini sudah menjadi bagian dari tradisi. ”Harapannya dengan terus bersyukur, mereka pun bisa menyadari diri sehingga bermanfaat, dan bukan menjadi beban masyarakat,” ujarnya.

Kebanggaan juga pantas disandang Novi Wulandari (18), siswa SMA Negeri 2 Lamongan, Jawa Timur. Meskipun dari keluarga miskin, tetapi dia meraih peringkat kedua nasional untuk ujian nasional dengan total nilai 58,50, di bawah Triawati Octavia dari SMA Negeri 2 Kuningan, Jawa Barat, dengan nilai 58,60. Ayahnya, Mohammad Mustakim, bekerja sebagai penjaga toko sepatu sandal di Pasar Lamongan dengan mendapatkan upah Rp 750.000 per bulan. Ibunya, Sepi Setyawati, pembantu rumah tangga.

Novi mampu membuktikan bahwa keterbatasan ekonomi bukan halangan untuk berprestasi. Ia sujud syukur, lalu memeluk ayah-ibunya saat diberi tahu sekolah meraih hasil ujian nasional peringkat kedua nasional. ”Saya sebelumnya memang terobsesi jadi terbaik nasional agar bisa kuliah, dan membanggakan orangtua. Saya ingin dapat beasiswa. Itu saja,” ujar Novi dengan mata berkaca-kaca.

(DAHLIA IRAWATI/ADI SUCIPTO KISSWARA)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com