Penggugat: Rektor Unsrat Sering Sewenang-wenang

Kompas.com - 25/06/2012, 22:21 WIB
Aditya Revianur

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Tindakan represif yang dilakukan oleh Rektor Universitas Sam Ratulangi Manado, Donald Rumokoy, dengan jalan menjatuhkan sanksi kepada dosen dan mahasiswa bersuara vokal ternyata sudah sering terjadi. Kasus gugatan ke pengadilan yang dilayangkan oleh Julius Pontoh pada 2006 silam dilakukan karena haknya sebagai Dekan MIPA terpilih yang haknya dicopot oleh rektor membuka banyak kasus ketidakadilan yang dilakukan oleh rektor Unsrat tersebut.

"Ketidakadilan yang menimpa Julius adalah pembuka dari jenis ketidakadilan yang dilakukan oleh Rektor Unsrat. Empat mahasiswa FISIP diskorsing karena mengkritik kebijakan rektor yang menyangkut transparansi kampus. Selain mahasiswa, juga ada tiga dosen yang dikenai vonis ringan oleh kampus dan sekarang gugatan tiga dosen tersebut sedang diproses di PTUN Manado," ujar Didi Kolengan, kuasa hukum Julius Pontoh di kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (25/06/2012).

Didi menambahkan bahwa Donald juga memecat dengan tidak hormat Arnold Lao dan Novianti, dua dosen di Unsrat, karena mengikuti proses pencalonan menjadi legislator (caleg) pada pemilihan kepala daerah setempat. Menurut Didi, kedua dosen tersebut tidak seharusnya diberhentikan dengan tidak hormat karena mereka hanya mendaftarkan namanya, tapi tidak memproses pencalonannya lebih lanjut. Kasus tersebut sekarang sedang dalam proses di Pengadilan Tata Usaha Negara Manado dengan pengugat Novianti.

"Hanya Ibu Novianti yang mengugat pemecatannya sebagai dosen karena Pak Arnold sudah meninggal tak lama setelah surat pemecatannya secara tidak hormat sebagai dosen diterimanya," kata Didi.

Di lain kesempatan, Julius Pontoh juga mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Donald adalah tindakan otoriter. Ia berkaca pada kasus yang menimpanya tatkala sudah empat tahun dirinya memenangkan gugatan dan mendapatkan keputusan hukum berkekuatan tetap (inkracht) yang dikeluarkan oleh PTUN Manado No. 27/G.TUN/2006/PTUN.Mdo tertanggal 21 Maret 2007. Hingga kini putusan dari pengadilan yang mengharuskannya diangkat menjadi Dekan MIPA Unsrat tak juga dilakukan oleh Donald.

"Apa yang dilakukan oleh Donald tidak layak dicontoh karena hal tersebut melanggar HAM. Dia sudah menangguhkan diri saya diangkat untuk menjadi dekan dan sampai sekarang saya tidak juga diangkat menjadi dekan, padahal pemilihan saya sebagai dekan berlangsung dengan demokratis. Tapi kok malah rival saya yang kalah diangkat menjadi dekan dan disetujui olehnya. Kesewenang-wenangannya telah merugikan Unsrat, contohnya kolega dan anak didik saya di Unsrat jadi takut dengannya. Hal tersebut tentunya menganggu jalannya kebebasan berpikir dan berpendapat di lingkungan kampus," ujar Julius.

Menurut Komnas HAM, yang dilakukan oleh Donald tersebut adalah perbuatan yang dengan jelas bercorak otoriter dan melanggar HAM. Setelah melakukan penyelidikan dalam kasus Julius dan rekan-rekannya, termasuk mahasiswa, Komnas HAM menilai bahwa tindakan Donalkd jelas melanggar hak untuk turut serta dalam pemerintahan dan hak untuk memperoleh keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat 1 dan Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

"Tindakan yang dilakukan oleh Rektor Unsrat adalah jenis pelanggaran HAM yang meyangkut soal penghilangan keadilan dengan disengaja dan mengabaikan imbauan pemerintah yang diperkuat oleh hukum inkracht. Selain itu, Rektor juga melakukan ketidaktaatan hukum yang mengenai masalah HAM dan hal ini tidak hanya terjadi pada Pak Julius. Berdasarkan pengaduan yang masuk ke Komnas HAM, tindakan serupa juga terjadi pada dosen dan mahasiswa Unsrat yang mengkritik pihak rektorat terkait masalah internal kampus," kata Johny Nelson Simanjuntak selaku Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau