DENPASAR, KOMPAS.com - Mantan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo menganggap Mahkamah Konstitusi yang membatalkan peraturan perundang-undangan tentang penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) sebagai tindakan mengabaikan rasa keadilan di tengah masyarakat.
"Seharusnya MK bisa membedakan antara ’equality’ (kesetaraan) dengan ’equal opportunity’ (kesempatan yang sama). Malah tidak adil, kalau dalam memutuskan persoalan itu, MK berpedoman pada ’equality’," katanya di Sanur, Denpasar, Minggu (27/1/2013).
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa di negara mana pun, bahkan negara komunis, kesetaraan itu tidak bisa diterapkan secara optimal. "Justru di negara demokrasi seperti kita ini yang berlaku adalah ’equal opportunity. Kesenjangan di muka bumi ini selalu ada, sekali pun di negara komunis," kata Mendiknas periode 2004-2009 yang juga salah satu Ketua PP Muhammadiyah itu.
Apalagi menurut Bambang, tuntutan RSBI itu sangat riil sehingga Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mencantumkan Pasal 50 Ayat 3 bahwa pemerintah pusat berkewajiban mendirikan perguruan tinggi berkelas dunia, sedangkan pemerintah daerah berkewajiban mengembangkan sekurang-kurangnya satu lembaga setingkat SD, SMP, dan SMA/SMK sebagai RSBI.
Namun pasal tersebut dibatalkan oleh MK pada 8 Januari lalu. "Dasar pemikiran MK terlalu sempit dan tidak berwawasan ke depan," kata Bambang yang menerapkan RSBI sejak 2006 itu.
Lagi pula dia menganggap bahwa minat masyarakat untuk masuk RSBI sangat terbatas sehingga sangat tidak patut jika MK berpedoman pada prinsip "equality" dalam menghapus pasal RSBI itu.
Kepada beberapa pihak pengelola RSBI yang keberatan atas keputusan MK, Bambang menyarankan untuk mengajukan usulan revisi pasal tersebut.
Sementara itu, terkait dengan penggabungan mata pelajaran Bahasa Daerah ke mata pelajaran seni dan budaya, dia menganggap sebagai upaya pelanggaran terhadap UU Sisdiknas.
"UU Sisdiknas memberikan kesempatan pada Bahasa Daerah sebagai muatan lokal. Kalau itu dihapuskan, berarti melanggar undang-undang," katanya.
Ia kembali menjelaskan bahwa Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang dia susun sebagai amanat dari UU Sisdiknas itu bukan berarti meninggalkan Bahasa Daerah.
"Jangan salah menerapkan KBK, di mana mata pelajaran harus berstandar kompetensi, isi, dan proses pembelajarannya. Bukan berarti KBK menghapus bahasa daerah dan bahasa asing. KBK itu sudah lama diujicobakan," katanya.
Bahasa Daerah, menurut dia, tidak bisa digabung dengan pelajaran lain, termasuk kesenian. "Belum lagi di dalam pelajaran Bahasa Daerah ada unsur sastranya sehingga sangat tidak mungkin untuk digabungkan," kata Bambang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.