Menimbang Kurikulum 2013

Kompas.com - 05/12/2014, 08:56 WIB


Oleh:

KOMPAS.com - Riwayat perubahan kurikulum di Indonesia sudah setua negeri ini. Tak lebih lama dari dua tahun sejak Kemerdekaan RI diproklamasikan, pemerintah mengungkapkan yang pada waktu itu disebut sebagai Leer Plan (Rentjana Pelajaran) 1947.

Sejak itu, sebelum sampai pada Kurikulum 2013, Indonesia telah melewati beberapa penyempurnaan dan penggantian kurikulum. Ada Rentjana Pelajaran Terurai 1957, Rentjana Pendidikan 1964, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004 alias Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan Kurikulum 2006 yang dikenal sebagai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Berarti selama hampir 60 tahun kemerdekaan, pendidikan di Indonesia telah mengalami 10 jenis kurikulum. Tentu dengan tingkat perubahan atau penyempurnaan yang berbeda-beda.

Mungkin karena alasan inilah muncul ungkapan ”ganti menteri, ganti kurikulum”. Sebenarnya pergantian kurikulum bukanlah sesuatu yang haram. Bahkan terkadang niscaya. Karena tantangan kehidupan selalu berubah, bahkan makin cepat, sementara teori-teori dan temuan-temuan baru di bidang pemikiran pendidikan juga terus berlangsung. Persoalannya lebih terletak pada ketepatan arah perubahan kurikulum. Tak kalah penting: implementasinya! Sebab, sebaik apa pun kurikulum, dia tak akan membawa hasil seperti yang diharapkan jika pelaksanaannya tidak beres.

Maka, dalam mengevaluasi Kurikulum 2013, penting bagi kita untuk lebih dulu membaginya ke dalam dua aspek. Pertama, aspek substansi kurikulum itu dan, kedua, implementasinya.

Sebelum membahas masalah ini lebih jauh, harus saya katakan bahwa—dalam hal implementasi—Kurikulum 2013 sangat jauh dari harapan. Masa penulisan buku pendukung bisa dibilang terburu-buru dan tanpa standar penulisan yang jelas, pelatihan guru yang tidak dipersiapkan dengan baik, dan distribusi buku yang mengalami kendala di mana-mana. Khusus mengenai pelatihan guru, terasa sekali kurangnya koordinasi antara pusat dan daerah, serta peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, panduan teknis, dan modul pelatihan kurang sinkron. Juga sering dijumpai perbedaan pemahaman (dan kemampuan) narasumber atau instruktur nasional yang berakibat pada kerancuan pemahaman.

Lemah dan tak lengkap

Filosofi kurikulumnya sendiri, sebagaimana terungkap dalam Naskah Akademik Kurikulum 2013, adalah pengembangan dari KTSP (termasuk kecakupan dan sequence, yang dilengkapi bahan standar TIMSS dan PISA). Pengembangan yang dilakukan mencakup beragam terobosan penting, yang memang amat dibutuhkan. Termasuk di dalamnya pengurangan mata pelajaran, pengakomodasian minat siswa (SMA) melalui sistem lintas minat dan pendalaman minat, penekanan sikap moral dan spiritual (pendidikan karakter), pendekatan kecerdasan majemuk, penerapan pembelajaran berbasis problem dan project, penekanan pada pendekatan saintifik, adopsi metode tematis terpadu (khusus SD), penerapan penilaian otentik, serta perubahan desain buku rapor yang menambahkan capaian dan deskripsi.

Sayangnya lagi, sejak penjabaran filosofi kurikulum ini ke dalam panduan penyusunan kurikulum, kita sudah dihadapkan pada sejumlah kelemahan dan ketaklengkapan. Di antara kelemahan-kelemahan tersebut adalah: pemaksaan masuk aspek sikap spiritual dan sosial ke dalam bahan ajar yang tak sesuai akibat pendesakannya dalam setiap Kompetensi Dasar (KD), terlalu banyak jumlah dan komponen KD sehingga terasa waktu belajar tidak mencukupi; serta terlalu banyak instrumen dalam sistem penilaian dan rumitnya pekerjaan pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sehingga terlalu banyak menyita waktu dan energi guru.

Dalam hal pendekatan tematik terpadu, meski sesungguhnya pendekatan ini sejalan dengan prinsip brain based learning, engagement, dan kontekstualitas, tetapi pada kenyataannya tak selalu dapat dipelihara integrasi bahan ajar dan/atau sequence yang tepat. Di samping itu, jumlah tema terlalu banyak sehingga menambah kerumitan pengelolaan proses belajar dan penilaian. Khusus untuk SMP dan SMA, beban pelajaran terasa terlalu berat—dan menuntut jam belajar lebih lama—akibat terlalu banyak proyek yang harus dikerjakan oleh siswa.

Setelah itu semua, kiranya dituntut kebijaksanaan pemerintah untuk memutuskan keberlangsungan Kurikulum 2013 ini. Pertama-tama harus dilihat secara seimbang kekuatan dan kelemahan Kurikulum 2013, baik dari segi substansi maupun implementasinya. Selanjutnya, ditimbang untung-rugi jika penerapan Kurikulum 2013 ditunda.

Memutuskan moratorium, dan mencanangkan kembali ke KTSP memang bukan tak mengandung risiko. Apalagi tahun pelajaran 2014/2015 sudah setengah jalan. Mengganti kurikulum di tengah semester, yang praktis tinggal kurang dari sebulan, adalah suatu tindakan yang muskil.

Terlebih terkait penyediaan buku. Belum lagi jika hal ini (bagi orangtua, khususnya dari keluarga miskin) berarti harus merogoh kocek untuk membeli paket buku yang tak murah, setelah sebelumnya mendapatkan buku gratis. Yang tak kalah penting, langkah maju-mundur yang diambil hingga nantinya Kurikulum 2013 diterapkan kembali setelah revisi dapat menimbulkan kebingungan dan disorientasi.

Disempurnakan

Pilihan terbaik, barangkali—apa boleh buat—adalah tetap melanjutkan penerapan Kurikulum 2013 sambil segera melakukan langkah-langkah untuk mengatasi kelemahan-kelemahannya. Meski bukan pekerjaan mudah dan juga tak akan langsung sempurna —bahkan kurikulum yang sudah matang pun selalu membutuhkan penyempurnaan—masih memungkinkan untuk melakukannya secara bertahap untuk penerapannya pada tahun ajaran mendatang. Mulailah dengan memprioritaskan upaya perbaikan atas kelemahan-kelemahan yang lebih bersifat fundamental, lalu masuk pada penyempurnaan aspek-aspek lain. Kenyataannya, sejak mulai diluncurkan pada awal tahun pelajaran 2012/2013, upaya untuk menyempurnakan Kurikulum 2013 pun telah dilakukan.

Akhirnya, kalau boleh menyarankan, hendaknya tim penyempurnaan Kurikulum 2013 diperkuat dengan sejumlah praktisi pendidikan yang sehari-hari berada di lapangan. Libatkan mereka yang memiliki kreativitas serta kepekaan terhadap tantangan dan kebutuhan zaman, sekaligus memiliki pemahaman mendalam dan wawasan luas dalam hal perkembangan pemikiran pendidikan mutakhir.

Bersamaan dengan itu, perlu benar-benar dirancang program pelatihan guru dan pendampingan sekolah secara sistematis, berkelanjutan, koheren, serta tepat guna dan tepat sasaran. Karena semua tahu, sebaik apa pun kurikulum tak akan banyak manfaat tanpa kesiapan guru, yang menjadi ujung tombak pelaksanaannya sehari-hari di lapangan.

Haidar Bagir Ketua Yayasan Lazuardi Hayati; Praktisi Pendidikan;
Terlibat dalam Penulisan Buku Pelajaran SD Kurikulum 2013

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau