Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kurikulum versi Ki Hadjar

Kompas.com - 05/01/2015, 21:32 WIB
KOMPAS.com - Ketika penulis atas nama pimpinan Perguruan Nasional Tamansiswa menerima kunjungan Joko Widodo tanggal 3 Mei 2014 di Kompleks Pendopo Agung Tamansiswa Yogyakarta tempat Ki Hadjar Dewantara mendidik cantrik dan mentriknya, ia berbicara mantap mengenai pentingnya pendidikan karakter bagi anak didik.

Di depan rumah Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar yang sekarang menjadi Museum Dewantara Kirti Griya, dan di hadapan ratusan pamong dan siswa Tamansiswa, Joko Widodo (Jokowi) dengan gamblang menyatakan sekitar 75 persen kurikulum pendidikan dasar adalah karakter, sekitar 50 persen kurikulum pendidikan menengah adalah karakter, dan sekitar 25 persen kurikulum pendidikan tinggi adalah karakter.

Boleh jadi permasalahan karakter itulah yang sesungguhnya menjadi ”pertimbangan tersembunyi” Anies Baswedan sebagai menteri pendidikan untuk menghentikan implementasi Kurikulum 2013 di luar 6.221 sekolah (uji coba).

Sebab, Kurikulum 2013 dianggap tidak optimal mengakomodasi pendidikan karakter sebagaimana ditekankan Jokowi, maka dihentikanlah kurikulum baru tersebut. Jokowi adalah presiden dan Anies Baswedan sebagai menteri pendidikan adalah pembantunya.

Ruh pendidikan

Karakter, Ki Hadjar menyebutnya sebagai budi pekerti, merupakan inti dari pendidikan, bahkan ada yang menyebutnya sebagai ruh pendidikan.

Bagi Ki Hadjar, pendidikan harus mampu menuntun tumbuhnya karakter dalam hidup Sang Anak (anak didik) supaya mereka kelak menjadi manusia berpribadi yang beradab dan susila.

Kecerdasan memang diperlukan segenap anak didik, tetapi karakter lebih diperlukan. Kecerdasan tanpa diimbangi karakter justru akan menjerumuskan kehidupan anak didik itu sendiri.

Dalam konteks pengembangan kurikulum, maka substansi pendidikan karakter bersifat mutlak. Permasalahannya, apakah pendidikan karakter harus menjadi mata pelajaran? Dalam hal ini Ki Hadjar bersikap bijak dengan menyatakan pendidikan karakter itu wajib diberikan kepada anak meskipun tidak harus menjadi mata pelajaran tersendiri. Ini berarti pendidikan karakter bisa menjadi mata pelajaran tersendiri, tetapi bisa juga terintegrasi pada mata pelajaran lain.

Bagaimana cara menyampaikan pendidikan karakter? Menurut Ki Hadjar ada empat tingkatan, yakni syari’at, hakikat, tarikat, dan makrifat.

Tingkat syari’at cocok diberikan kepada anak yang sangat muda, dalam hal ini anak TK. Metodenya dengan membiasakan berperilaku baik menurut ukuran umum, misalnya mengucapkan salam ketika bertemu teman, memberikan hormat ketika bertemu guru, dan mencium tangan ketika berhadapan dengan orangtua.

Tingkat hakikat cocok diberikan kepada murid SD. Anak dibiasakan berperilaku baik menurut ukuran umum, dalam waktu bersamaan diberi pengertian mengapa harus berbuat demikian.

Contohnya, di samping dibiasakan mengucapkan salam sewaktu bertemu teman, mereka juga diberi pengertian tentang pentingnya mengucap salam itu; misalnya dapat menimbulkan ikatan hati dan keakraban lahir-batin antarteman.

Tingkat tarikat cocok diberikan kepada siswa SMP. Siswa dibiasakan berperilaku baik, diberi pengertian pentingnya hal itu dilakukan; bersamaan waktunya disertai aktivitas pendukung yang cocok.

Misalnya bagaimana anak-anak tersebut berkesenian, berolah puisi, berolahraga, dan bersastraria sambil berolah budi. Contohnya adalah anak-anak SMP dilatih menari ”halus” sambil dijelaskan makna gerakan yang ada di dalamnya untuk menanamkan karakter.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com