Oleh Indy Hardono
KOMPAS.com - Siapa tidak ingin beasiswa, apalagi beasiswa ke luar negeri? Saat ini banyak beasiswa yang ditawarkan untuk anak-anak Indonesia, mulai Pemerintah Indonesia, negara-negara donor, hingga lembaga-lembaga pemberi beasiswa lainnya.
Tapi, walapun banyak beasiswa tersedia, persaingan untuk meraihnya juga semakin ketat. Makin banyak pelamar yang berkualitas, baik dari sisi akademis, pengalaman organisasi, kemampuan berbahasa Inggris dan kepemimpinan.
Sampai hari ini, sejarah beasiswa di Indonesia terhitung sudah sangat panjang. Sejak masa prakemerdekaan sudah banyak pelajar Indonesia kuliah di luar negeri dengan beasiswanya.
Sebutlah Bung Hatta, misalnya. Hatta mendapat beasiswa dari Yayasan van Deventer, Belanda, yang pada saat itu bertujuan ingin membantu pemuda-pemudi Indonesia yang memiliki kemampuan namun memiliki keterbatasan, seperti keterbatasan finansial.
Pada masa orde lama di era tahun 60-an, Pemerintah mengirim mahasiswa ke negara-negara blok Timur, antara lain Rusia dan Cekoslowakia. Sementara pada masa Orde Baru, Pemerintah Amerika Serikat memberikan beasiswa Ford Foundation. Emil Salim, Ali Wardhana, JB Soemarlin, serta Dorodjatun KJ adalah beberapa tokoh Indonesia penerima beasiswa tersebut.
Umumnya beasiswa- beasiswa tersebut bersifat bantuan bagi Indonesia sebagai negara yang baru berdaulat dan harus segera membangun. Namun, dengan mulai bergesernya "status" Indonesia dari negara sedang berkembang (developing country) menuju negara maju (transitional country), program beasiswa yang ditawarkan juga mengalami perubahan.
Banyak beasiswa yang diberikan dari berbagai negara donor, yang tadinya adalah bantuan (devopment aid), berubah menjadi instrumen kemitraan (partnership). Otomatis perubahan itu mengubah pula sasaran, persyaratan dan sistem seleksi.
Beberapa negara donor bahkan secara drastis mengurangi dana beasiswanya. Hal itu terjadi karena sebagai negara "transisi" Indonesia dianggap bukan lagi menjadi prioritas mendapatkan bantuan beasiswa.
Seperti halnya dengan beasiswa Studeren in Nederlan (StuNed) dari Pemerintah Belanda yang di awal berjalannya pada 2000 bersifat bantuan (development aid), kini program beasiswa itu lebih bersifat kemitraan. Tak pelak, profil kandidat yang diharapkan pun berbeda.
Persaingan pun lebih dititikberatkan pada faktor keunggulan dan prestasi, baik pada skil akademik maupun nonakademik. Tak ada lagi prioritas dari sisi gender ataupun sebaran geografis atau faktor-faktor lainnya.
Jadi, bukan zamannya lagi mengharapkan beasiswa sebagai bentuk bantuan dengan segala pengecualian dan perlakuan khusus. Dunia yang menjadi semakin kecil, terhubung dan sangat kompetitif pada akhirnya memang menuntut sumber daya manusia (SDM) yang kompetitif pula.
Sadar atau tidak, sebagai negara terbesar dengan jumlah penduduk terbanyak di kawasan ASEAN, Indonesia seharusnya bisa menjadikan jumlah yang besar itu sebagai modal human capital, dan bukan malah manja dengan minta segala kemudahan dan keistimewaan. Apalagi, istilahnya "titipan".
Keunggulan
Keunggulan akademik adalah hal yang tidak dapat ditawar-tawar. Tentu saja, jika ingin kuliah di perguruan tinggi ternama, tuntutan kualifikasi akademiknya sangat tinggi.