JAKARTA, KOMPAS.com –Tanpa penyesuaian setiap saat, kurikulum perguruan tinggi tak akan bisa menghasilkan lulusan yang sesuai kebutuhan industri dan masyarakat. Terlebih lagi, industri nasional dan global bergerak sangat dinamis.
“Agar kurikulum perguruan tinggi relevan dengan kebutuhan saat ini, perguruan tinggi harus terus memodifikasi kurikulum sesuai kebutuhan Industri dan masyarakat yang terus berubah,“ ujar Direktur Sumber Daya Manusia Universitas Indonesia (UI), Riani Rachmawati, Selasa (17/5/2016).
Berbicara dalam diskusi bertema “Unlocking Indonesia’s Bright Future The Role Of Education”, Riani menegaskan, modifikasi kurikulum tidak hanya soal konten tetapi juga untuk cara penyampaian materi perkuliahan kepada para mahasiswa.
UI dan Institut Teknologi Bandung (ITB), sebut Riani memberikan contoh, telah mengubah cara perkuliahan, yaitu dengan membangun student center learning.
"Dengan begitu kita tidak hanya fokus pada dosen dan kuliah di kelas, tetapi juga bagaimana mahasiswa punya pengalaman sendiri untuk menyelesaikan tugas yang mereka butuhkan," ungkap Riani.
Menurut Riani, pola tersebut akan sangat berguna nanti, yaitu ketika para mahasiswa kelak memasuki dunia kerja. Itu pun, ujar dia, masih saja ada kesenjangan antara kualitas keterampilan (skill) para alumnus perguruan tinggi dengan kebutuhan industri.
“Gap kompetensi antara lulusan UI dan industri itu ada, (meski) nampaknya (sudah) bisa mendekati kebutuhan industri. Namun, kalau kita tidak mengejar atau melakukan perubahan kurikulum, gap yang tadinya kecil akan menjadi besar," tegas Riani.
“Pembaruan kurikulum ITB dilakukan secara reguler. Paling tidak perubahan atau rivisi kurikulum secara keseluruhan terjadi dalam 5 tahun. Namun, setiap tahun, selalu ada pembaruan atau perbaikan konten terhadap mata kuliah," ungkap Bambang.
Saat ini, kata Bambang, ITB semakin memusatkan perhatian kepada mahasiswa, mendorong para mahasiswa menyusun portofolio sejak dari kampus. Karenanya, kata dia, justru mahasiswa yang lebih berperan aktif dalam proses kuliah.
"Pengajar atau dosen hanya bertindak sebagai fasilitator," ujar Bambang yang juga menjadi panelis dalam diskusi yang diprakarsai PT Rolls-Royce Indonesia tersebut.
Dengan pembaruan seperti itu pun, imbuh Bambang, mahasiswa ITB rata-rata masih punya kelemahan di bidang soft skill.
“Kualitas hard skill (keilmuan) lulusan ITB sudah memenuhi harapan dunia Industri. Namun, kualitas soft skills (seperti kerja sama, empati, pressure dalam bekerja) lulusan ITB masih kurang dan masih ada gap dengan yang dibutuhkan industri,“ papar Bambang.
Untuk menambal kesenjangan soal soft skill ini, lanjut Bambang, ITB terus memperbaiki kurikulum dan kegiatan ekstrakurikuler.
Selain Riani dan Bambang, diskusi menghadirkan pula Direktur Jenderal Kelembagaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Patdono Suwignjo; Manajer Progam Senior, New Fund, British Council, Femmy Soemantri; serta Presiden Direktur PT Rolls-Royce Indonesia, Adrian Short; sebagai panelis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.