Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Meretas ”Bullying”

Kompas.com - 20/07/2016, 16:59 WIB

Meretas ”bullying”

Bullying tidak mudah dihilangkan, apalagi kalau telah menjadi tradisi sekolah. Menurut beberapa studi, bullying terkait dua hal. Pertama, ketidakseimbangan kekuasaan di mana salah satu pihak menjadi takut dan tidak berani jujur.

Kedua, tindak kekerasan terkait dengan perbedaan kemampuan pelaku ataupun korban dalam memproses informasi sehingga pengungkapan emosi moral terhambat (KJR Blair et al, 1995, 1997).

J Sutton dan PK Smith (1999) bahkan mengatakan, sebenarnya pelaku bullying adalah ”pembaca mental” yang pintar. Mereka mampu memanipulasi orang lain.

Unsur struktural dan personal itu membuat intervensi untuk meretas bullying harus menyeluruh dan berkesinambungan. Umumnya, intervensi fokus pada tiga hal: para pelaku bullying, korban, serta lingkungan sekitar.

Bersama stakeholders sekolah, diadakan ceramah dan pelatihan untuk orangtua agar mampu mendeteksi dini tanda-tanda bullying.

Untuk anak-anak ada pelatihan rasa percaya diri, penghargaan martabat manusia, serta keterampilan berteman (H Cowie dan R Olafsson, 2000; L Peterson dan K Rigby, 1999).

Kini, ada beberapa pendekatan baru untuk meretas bullying, yaitu ”menumbuhkan tingkah laku meniru dan mempraktikkan peniruan tersebut dalam aktivitas sosial (imitative and interactive behavior)”.

Dasar pendekatan ini adalah pandangan mengenai tiga kemampuan utama pengembangan anak: (1) kemampuan kontak emosional dengan orang lain, (2) kemampuan berbagi (sharing) pengalaman pribadi, serta (3) kemampuan berkomunikasi antarsubyek.

Ketiga kemampuan itu menjadi semacam batu loncatan untuk menjadikan mereka makhluk sosial. Ketiga kemampuan itu dilatih dengan pembelajaran lapangan melalui permainan bercorak interaktif di mana unsur meniru jadi yang terpenting.

Melalui metode serupa, anak- anak masuk dalam situasi, menyesuaikan pandangan hidup, serta berbagi tujuan hidup dengan orang lain.

Melalui praktik lapangan, terjadi sharing pengalaman emosional, elemen kunci untuk memunculkan empati tanpa sekat-sekat perbedaan atau hak istimewa.

Dalam aktivitas ini, dukungan dari keluarga dibangun dengan melibatkan mereka dalam kesibukan praktik tingkah laku peniruan dan interaktif anak.

Tanpa keterlibatan serupa, apa yang dilakukan anak akan menjadi ”sesuatu yang berada di luar keluarga” yang umurnya akan pendek (K Dautenhahn dan S Woods, 2007).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com