Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Van Ginkel, Mahasiswa Belanda Itu Meneliti Citarum yang Sekarat...

Kompas.com - 21/02/2017, 14:11 WIB
Cahyu Cantika Amiranti

Penulis

KOMPAS.com - Melihat peliknya masalah pencemaran Sungai Citarum, Kees van Ginkel tergerak untuk meneliti sumber polusi dan menemukan solusi pembersihannya. Selama lima bulan mengeksplorasi, mahasiswa Universitas Twente Belanda meneliti sungai tersebut dibantu seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Padjajaran Bandung.

"Langkah pertama adalah mengklarifikasi masalah. Ada banyak sumber polusi dan beragam opini mengenai pihak yang bertanggung jawab. Banyak orang membelokkan fakta," kata Ginkel, bulan lalu.

Studi awal yang dilakukan Ginkel adalah mengumpulkan dan menganalisis data. Untuk mengumpulkan data, dia mewawancarai pemilik usaha di tempat mereka bekerja.

Ginkel tak segan untuk turun ke lembah-lembah sungai kotor penuh limbah tersebut. Bersama penduduk setempat dia menempatkan alat sensor untuk mengukur kualitas air di tepian lembah Sungai Citarum.

Selanjutnya, Ginkel mencocokkan data terkait kualitas air tersebut dengan gambar satelit area sungai. Menurut dia, analisis data ini dapat membantu Indonesia melakukan penelitian yang lebih efektif mengenai kesehatan publik.

Dok Van Ginkel Penelitian yang termasuk dalam Alliance for Water, Health, and Development itu berhasil mengantarkan Ginkel sebagai pemenang Water Network Thesis Award untuk mahasiswa Belanda pada 2016 lalu.
Bencana lingkungan

Kebersihan Sungai Citarum kini turut menjadi perhatian warga mancanegara. Pasalnya, sumber air minum sebagian besar penduduk DKI Jakarta ini dinobatkan sebagai sungai terpolusi di dunia.

Citarum bak sedang sekarat. Hal itu bahkan sejak jauh-jauh hari dipaparkan oleh orang nomor satu di Jawa Barat.

"Sudah diumumkan, Sungai Citarum darurat lingkungan," ujar Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, seperti dikutip Kompas.com, Sabtu (25/1/2014) silam.

Menurut Heryawan atau disapa Aher, penyebab utama pencemaran Sungai Citarum adalah limbah pabrik. Lebih dari 300 perusahaan di Bandung membuang kotorannya ke sana.

Kebiasaan masyarakat membuang sampah dan buang air besar (BAB) di sungai turut menjadi sumber pencemaran. Padahal, ujung-ujungnya, warga pula yang memanfaatkan air tercemar itu.

"Air sungai digunakan untuk irigasi sawah. Terkadang warga juga menggunakan air sungai untuk mencuci baju atau memasak. Tak jarang pula anak-anak berenang di sana,” ucap Ginkel.

Menurut Ginkel, fenomena tersebut sudah termasuk bencana lingkungan. Jika Sungai Citarum dibersihkan dalam sehari pun, menurut dia, masalah pencemaran akan terus berlangsung hingga beberapa tahun mendatang karena polutan sudah mengendap di sedimen sungai.

Berdasarkan hasil penelitiannya, Ginkel mengatakan bahwa solusi pencemaran Sungai Citarum tak hanya terbatas pada sejumlah intervensi teknis. Lebih dari itu, dibutuhkan sosialisasi permasalahan sosial dan administratif.

Sebagai bentuk sosialisasi, dia mengunjungi banyak tempat di sekitar delta sungai. Di sana, dia membahas tentang polusi dan memberikan pelatihan kepada penduduk mengenai kualitas air.

Dok Van Ginkel Citarum bak sedang sekarat. Hal itu bahkan sejak jauh-jauh hari dipaparkan oleh orang nomor satu di Jawa Barat.
Kerja keras Ginkel terbayar. Penelitian yang termasuk dalam Alliance for Water, Health, and Development itu berhasil mengantarkan Ginkel sebagai pemenang 'Water Network Thesis Award' untuk mahasiswa Belanda pada 2016 lalu. Berkoordinasi dengan Pemerintah Indonesia, studi itu juga menjadi kontribusi bagi proyek perbaikan kualitas air.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com