Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Pasti "Salah" Dian Sastro!

Kompas.com - 26/04/2017, 17:49 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis

KOMPAS.com – Ini pasti “salah” Dian Sastro! Apa lagi coba alasannya kalau bukan gara-gara Dian, pada tahun ini nama Kartini tak cuma disebut sambil lalu dalam peringatan tahunannya?
Lagi-lagi sepertinya Dian bikin “perkara”.

Mulai terkenal pada 2002 dengan film Ada Apa dengan Cinta?, Dian waktu itu bikin geger dan membuat sinema Indonesia menggeliat lagi. Cerita romansa remaja itu menyambung percik bara semangat dari film Petualangan Sherina yang produsernya sama.

Sekuel film Ada Apa dengan Cinta? pada 2016, juga sudah bikin “perkara”. Sempat dianggap cuma bakal jadi ajang nostalgia buat generasi Cinta zaman SMA, film ini tak dinyana telah mengangkat lokasi-lokasi pengambilan gambarnya jadi magnet baru wisata Yogyakarta.

Karenanya, keriuhan peringatan Hari Kartini pada 2017 yang terasa beda, pasti gara-gara Dian lagi. Iya, karena kali ini dia jadi bintang utama di film Kartini. Bahasan soal Kartini di dunia maya dan media massa pun lalu meluber kemana-mana.

Topik bahasan meluas dari pemberdayaan perempuan, proses pencerahan dalam menjalankan keyakinan yang belakangan ternyata jadi judul buku kumpulan surat-suratnya, literasi, sampai cerita lebih mendalam soal kiprah saudara-saudaranya.

Gara-gara Dian juga, sosok Kartini “berubah”, dari gambar hitam-putih perempuan berkebaya dengan hidung pesek di buku-buku pelajaran sekolah menjadi sosok perempuan Jawa yang segar, usil, lugas, tetapi jelas cerdas.

Artis peran Dian Sastrowardoyo dalam acara syukuran film Kartini di XXI Djakarta Theatre, Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (14/7/2016).KOMPAS.com/Dian Reinis Kumampung Artis peran Dian Sastrowardoyo dalam acara syukuran film Kartini di XXI Djakarta Theatre, Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (14/7/2016).

"Yang namanya film kan tafsir atas realitas, sebisa mungkin meyakinkan penonton. Maka, tafsir itu sebisa mungkin didekatkan," tutur Hanung Bramantyo, sang sutradara film Kartini yang juga mempertemukan kembali Dian dan Christine Hakim dalam satu layar lebar, jauh-jauh hari sebelumnya, Jumat (24/6/2016).

(Baca juga: Hanung Bramantyo Berusaha Dekatkan Dian Sastrowardoyo dengan Sosok Kartini)

Bagi Dian, peran Kartini ibarat jodoh sekaligus tantangan. Dia sampai mengibaratkan proses mengenali karakter Kartini ini laiknya proses membuat skripsi.

Tak hanya membaca sejumlah naskah dan buku terkait Kartini, termasuk yang tak beredar di Indonesia, Dian pun harus fasih menggunakan bahasa Belanda dalam dialog panjang di adegan film ini.

Bukan semata soal emansipasi

Dari nuansa yang lebih terasa beda pada peringatan Hari Kartini tahun ini, banyak orang sontak seolah otomatis tergerak mengulik lebih dalam tentang cerita panjang pemberdayaan perempuan di Indonesia.

Muncul lagi, misalnya, kisah Kardinah, si adik bungsu Kartini. Cerita soal Kardinah yang lumayan tertepikan dari sejarah, terasa kembali menemukan proporsi yang tepat dalam dialektika para netizen dan awam.

Cuplikan film KartiniLegacy Pictures Cuplikan film Kartini

Padahal, dulu kisah Kardinah pun sebenarnya pernah tayang di harian Kompas dan Kompas.com, pada 2009.  (Baca juga: Kutil, Kardinah, dan Bu Sardjoe)

Menjadi menarik, ketika muncul pula di tengah keriuhan pembahasan soal film Kartini dan cerita keluarganya, saran untuk penyebutan peringatan itu sebaiknya berubah menjadi “Hari Literasi”.

Bakal rancu dengan Hari Buku Nasional yang dirayakan setiap 23 April sih memang, sanggahan yang paling cepat muncul.

Namun, ajaran Kartini memang tak terpisahkan dengan literasi. Pengkhususannya hanya ada pada target yang dibidik, yaitu kaum perempuan.

Tentu saja, latar di balik sasaran “ajaran” Kartini tak terlepas dari kultur sosial di lokasi Kartini bersaudara tumbuh dan tinggal, pada masa itu. Kutipan berikut ini, merupakan salah satu yang menjaga konteks situasi pada masa Kartini hidup.

Apakah gunanya memaksa orang laki-laki menyimpan uang, apabila perempuan yang memegang rumah tangga tiada tahu akan harga uang itu!" ujar Kartini seperti dikutip dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Kutipan di atas merupakan salah satu cara Kartini bicara pentingnya pendidikan bagi perempuan. Buat dia, pendidikan tinggi buat perempuan bukan semata menghadirkan sederet wanita karier di jabatan penting.

Meski tak terucap eksplisit, Kartini menegaskan bahwa di tangan perempuanlah banyak hal terkait penghuni rumah akan ditentukan, sekalipun penghasilan utama tetap berasal dari lelaki yang jadi suami dan tulang punggung keluarga.

Ilustrasi ibu dan anakThinkstock/omgimages Ilustrasi ibu dan anak

Ujung-ujungnya, perempuan dengan pendidikan yang baik juga yang bakal menghadirkan sosok anak-anak sehat, cerdas, dan berpendidikan, termasuk mereka yang kelak menjadi lelaki dan perempuan di kursi pejabat dan pengambil keputusan.

(Baca juga: Menjadi Ibu Tangguh Ala Dian Sastrowardoyo)

Bilamana pemerintah sungguh-sungguh mau membudayakan rakyat, maka baik pendidikan ilmu pengetahuan maupun pendidikan budi pekerti harus dikerjakan bersama-sama. Untuk yang terakhir ini, siapakah yang lebih mampu meningkatkan budi pekerti dibandingkan kaum perempuan, kaum ibu? Di pangkuan ibulah orang mendapat pendidikan yang pertama. Di situ anak untuk pertama kali belajar merasakan, berfikir, dan bicara. Pendidikan yang paling awal itu besar artinya bagi seluruh hidupnya. ~ Surat Kartini kepada Nyonya Ovink-Soer, dikutip dari buku “Kartini, Sebuah Biografi”, 1977, hal: 206.

(Baca juga: Saat Kartini Menuntut Pendidikan Perempuan Minimal hingga Kejuruan)

Kesetaraan yang didorong Kartini bersaudara juga bukan berarti menafikan kehadiran laki-laki dalam kehidupan perempuan.

Sebut saja sosok dan peran Sosrokartono, kakak Kartini, cukup kuat muncul di film Kartini, termasuk salah satu fondasi polah dan kiprah Trinil atau Nil, panggilan keluarga untuk Kartini.

(Baca juga: Para Pria di Sekitar Kehidupan Kartini)

Satu lagi, dari semua kisah seputar Kartini yang kerap terlewat oleh banyak orang adalah kaitan empat bersaudara di Rembang ini dengan figur-figur pendidikan nasional, antara lain Ki Hajar Dewantoro dan Dewi Sartika.

Membahas pemberdayaan perempuan dan literasi, pembahasan seputar Kartini pun akan memunculkan lagi nama lain seperti Rohana Kudus. Kiprahnya tak kalah hebat soal literasi dan emansipasi, bergerak dari Minangkabau.

Halaman selanjutnya: Fakta hari ini...

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com