JEO - News

Stop Diskriminasi
Anak dengan HIV
di Sekolah

Selasa, 23 Juli 2019 | 19:27 WIB

Kebanyakan mereka tertular dari orangtuanya, bukan karena perilakunya. Kondisi badannya pun sehat untuk dapat beraktivitas biasa, termasuk di sekolah. Waktunya bersama bangun dunia yang ramah untuk anak dengan HIV. 

 

ANAK-ANAK itu lahir dengan HIV karena tertular dari orangtua mereka. Jika bisa memilih, mereka tentu tak ingin terlahir dengan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh ini.

Berita-berita mengenai kekerasan sosial yang diterima anak-anak dengan HIV/AIDS (ADHA) sudah sering diangkat dalam pemberitaan.

Baca juga: Idap HIV/AIDS, 14 Siswa Dikeluarkan dari Sekolahnya

Walau penyakit ini sudah ditemukan lebih dari 20 tahun lalu, nyatanya masih banyak masyarakat yang ketakutan jika hidup dalam lingkungan dengan ODHA atau ADHA.

Stigma negatif itu sebenarnya timbul ketika status penyakit anak diketahui secara luas.

Menurut dokter spesialis anak Nia Kurniati, masalah stigma negatif itu sebenarnya timbul ketika status penyakit anak diketahui secara luas.

Padahal, menurutnya, tidak ada kewajiban bagi orangtua atau wali untuk memberitahukan status penyakit anak pada orang lain, termasuk pada sekolah.

"Baik pada anak atau dewasa, tidak ada kewajiban untuk memberi tahu ke orang lain. Di undang-undang tidak ada," ujar dokter dari Unit Pelayanan Terpadu HIV RSCM Jakarta ini.

Ia menuturkan, penularan penyakit seperti HIV dan hepatitis tidak gampang. Kewajiban membuka status kesehatan suatu individu sangat terkait dengan moda penularannya.

"Yang perlu dikasih tahu itu kalau misalnya cacar air, campak, SARS, Ebola, atau TBC, yang penularannya lewat udara. Itu justru wajib memberi tahu," kata Nia.

Pada orang dewasa, hanya mereka yang pekerjaannya sering melakukan kontak dengan orang lain perlu memberi tahu status penyakitnya.

Baca juga: Lawan Stigma, Rangkul Anak dengan HIV/AIDS

Misalnya, petugas kesehatan, pekerja di salon, atau bidang pekerjaan lain yang membutuhkan kontak langsung dengan orang lain.

Adapun ADHA, termasuk anak usia sekolah, tidak ada kewajiban ia harus melaporkan pada sekolah.

"Tujuan sekolah mendaftar penyakit siswanya adalah untuk menyiapkan kalau ada apa-apa pada anak tersebut sekolah sudah tahu apa yang harus dilakukan," tegas Nia.

Dia memberikan contoh, status anak yang sakit lupus atau autoimun harus diberitahukan ke sekolah agar dapat diterjemahkan bahwa anak tidak boleh ikut olahraga di bawah matahari atau anak tidak boleh capai. 

Adapun ADHA, termasuk anak usia sekolah, tidak ada kewajiban ia harus melaporkan pada sekolah.

Sebaliknya, anak-anak dengan HIV secara umum dalam kondisi sehat dan bisa beraktivitas seperti anak lain.

"Memang mereka sehat, jadi kenapa harus dibuka statusnya. Tidak ada kepentingannya. Kalau pun sekolah mendaftar penyakit yang dimiliki anak, bukan untuk menolak anak," kata Nia.

Syaratnya, anak dengan HIV harus rutin meminum obat antiretroviral (ARV). Konsumsi obat ARV secara rutin akan membuat jumlah virus HIV bisa ditekan sehingga kekebalan tubuh anak terjaga. Anak pun bisa beraktivitas dan bermain secara normal.

"Konsekuensi dari membuka status HIV anak sangat berat. Tahun ini bisa diterima, tahun berikutnya belum tentu," ujarnya.

Informasi tentang status kesehatan seorang anak, menurut Nia, seringkali justru dipakai untuk membuat stigma baru yang merugikan.

Dukungan

Komisioner bidang kesehatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Dr Sitti Hikmahwatty, mengatakan, masyarakat tidak berhak "menghukum" ADHA karena mereka tidak bersalah.

Orang baik-baik pun bisa tertular HIV

"Di masyarakat penyakit akibat HIV selalu dianggap sebagai kutukan. Padahal, orang baik-baik pun bisa tertular HIV," ujar Hikmah.

ADHA sangat membutuhkan dukungan dari sekitarnya karena mereka sedang berjuang melawan penyakitnya.

"Mereka dalam posisi sedang berjuang dan butuh dukungan. Jangan turunkan semangatnya. Sama seperti pasien kanker, mereka juga bisa terpengaruh mood-nya. Semangat hidup yang tinggi akan memperpanjang usianya," kata Hikmah.

Baca juga: Lawan Stigma, Rangkul Anak dengan HIV/AIDS

Nia mengatakan, sangat penting untuk menjaga mental ADHA agar mereka terus bersemangat mengonsumsi obat ARV setiap hari karena lazimnya anak-anak, mereka juga bisa bosan minum obat setiap hari.

"Apalagi secara umum ADHA ini sehat, mereka suka protes kenapa harus minum obat terus atau periksa ke dokter," ujar Nia.

Seperti anak-anak pada umumnya, ADHA juga perlu menjaga pola makan dan pola istirahatnya agar daya tahan tubuhnya tetap kuat. Secara berkala, bisa sebulan atau tiga bulan sekali, mereka harus bertemu dokter untuk memeriksakan diri.

Bertahap

Kebanyakan ADHA tertular HIV sejak bayi melalui ibunya. Dalam kurun waktu masa kanak-kanaknya, mereka tidak diberitahu mengenai penyakitnya.

Biasanya mereka baru akan diberi tahu soal penyakitnya setelah berusia 12 tahun.

Biasanya mereka baru akan diberi tahu soal penyakitnya setelah berusia 12 tahun.

 "Memang tidak rigid harus di usia 12 tahun, tapi di usia ini biasanya mereka mulai bisa bertanggung jawab pada dirinya sendiri," papar Nia.

Ia mengatakan, orangtua atau pengasuh akan memberitahu kondisi penyakit anak secara bertahap, sesuai kondisi kematangan mental anak, atau disebut dengan istilah disclosure.

Di usia anak-anak, orangtua bisa memberi tahu anak bahwa di dalam tubuhnya ada kuman atau virus sehingga mereka harus minum obat ARV secara rutin.

Informasi yang diberikan pada anak sangat terukur dan disesuaikan dengan perkembangan mental dan relevan dengan kondisi anak. Tujuan dari disclosure ini adalah agar anak lebih bisa menjaga dirinya sendiri dan berpartisipasi minum obat.

"Tidak semua informasi dibuka. Hanya yang relevan saja, misalnya anak 12 tahun tidak perlu diberi tahu soal ia tidak bisa menikah," katanya.

Informasi yang dibuka kepada ADHA, lanjut Nia, tetap bukan untuk konsumsi publik karena konsekuensinya yang sangat berat.

"Keluarganya saja bisa menolak," katanya.

Walau kebanyakan orang menganggap HIV sebagai "kutukan", ternyata banyak ADHA yang secara mental tetap positif setelah tahu penyakitnya. Peran orangtua dan pengasuh dalam memberi informasi soal penyakitnya berperan besar dalam hal ini.

"Memang ada juga anak yang sedih dan depresi. Biasanya kami minta psikiatri untuk mengajak anak bicara. Dukungan dari komunitas ODHA juga membantu untuk menguatkan," katanya.

Kedekatan pasien ADHA dengan tim dokter tidak hanya sebatas tentang pengobatan, tapi juga kondisi emosi hingga pilihan pekerjaan.

"Kadang kami juga berdiskusi soal profesi yang bisa mereka ambil. Intinya kami selalu membuka ruang agar mereka tetap dalam kondisi baik," imbuhnya.

Tidak berbeda

Anak-anak dengan HIV yang disiplin mengonsumsi obat akan tumbuh sehat seperti anak tanpa HIV. Mereka pun berhak untuk sekolah dan mengembangkan potensinya.

"Anak-anak ini tidak perlu diistimewakan, selain minum obat rutin, tidak ada yang beda. Jangan membeda-bedakan atau membeli label," ujarnya.

Seandainya pihak guru atau sekolah mengetahui kondisi anak, mereka bisa melihat sisi positifnya, misalnya lebih mengerti jika anak izin untuk berobat.

"Kalau ada masalah-masalah lain guru bisa melindungi. Penyelesaian masalah bisa dengan duduk bersama, tidak perlu menyentuh. Anak ini enggak tahu statusnya, jadi mengapa disalahkan?" katanya.

FENOMENA GUNUNG ES

JUMLAH anak dengan HIV/AIDS (ADHA) disebut bak fenomena gunung es. Angka yang muncul di permukaan diperkirakan masih jauh dari realitas di kenyataan.

Stigma jadi penghalang masyarakat membuka status kesehatannya, bahkan menghalangi mereka memeriksakan diri.

Temuan sebaran kasus baru anak dengan HIV/AIDS di Indonesia dapat dilihat dalam infografik berikut ini:

 

Komisioner bidang kesehatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Dr Sitti Hikmahwatty, meyakini banyak ADHA yang tidak terdata.

Stigma yang didapat ADHA timbul karena ketidaktahuan masyarakat tentang cara penularan virus HIV.

"HIV/AIDS selalu dianggap penyakit kutukan sehingga dijauhi dan ada hukuman dari masyarakat, padahal orang baik-baik pun bisa tertular HIV," kata Hikmah ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (16/7/2019).

Anak-anak dengan HIV/AIDS tersebut tertular HIV dari orangtunya, terutama dari ibunya sejak dalam kandungan atau proses persalinan.

"Mereka berada dalam posisi yang sangat rentan, tertular ketika dia tahu atau saat masih bayi," ujar dr Nia Kurniati SpA(K).

Nia menjelaskan, HIV menular melalui hubungan seks yang tidak aman, dari ibu yang positif HIV ke anak, proses transfusi yang tidak aman, atau prosedur apa pun yang berhubungan dengan darah.

Masih banyak masyarakat yang menganggap penularan HIV/AIDS semudah penularan flu yang melalui udara.

Walau penyakit ini sudah ditemukan lebih dari 30 tahun lalu, hingga saat ini masih banyak masyarakat yang menganggap penularan HIV/AIDS semudah penularan flu yang melalui udara.

Padahal, HIV tidak menular melalui penggunaan toilet bersama, gigitan nyamuk atau serangga, menggunakan alat makan bersama, bersalaman, berpelukan, atau tinggal serumah dengan ODHA.

Penularan melalui luka, menurut Nia, tergantung pada kondisi tubuh ADHA.

"Penularan HIV ada beberapa level. Kalau anak dalam kondisi sehat risikonya rendah sekali karena biasanya virusnya tidak ada di darah tepi. Jadi, penularan lewat luka gores sangat rendah kemungkinannya," kata dokter anak yang bertugas di Unit Pelayanan Terpadu HIV RSCM Jakarta ini.

Walau begitu, kondisi ADHA bisa mengalami naik turun, tergantung pada kepatuhannya dalam mengonsumsi obat.

Baca juga: Kenali Mitos dan Fakta HIV/AIDS, Biar Tak Gampang Kasih Stigma

"Ketika sedang down, virusnya bisa muncul lagi. Kalau sudah begini, kita berusaha supaya dicarikan obat baru atau minta dia memperbaiki kepatuhan minum obat, atau menyelesaikan problem lainnya," papar Nia.

Selain konsumsi obat, ADHA juga sudah diajarkan sejak dini agar mandiri dengan cepat, termasuk ketika terjatuh atau terluka bisa menolong diri sendiri tanpa minta bantuan orang lain.

"Dibanding anak lain, anak-anak ini lebih mandiri. Misalnya kalau jatuh sudah diajarkan untuk segera ke kamar mandi, mencuci lukanya, lalu pakai plester. Kami selalu menyelipkan informasi seperti itu," paparnya.

Pengobatan

Obat untuk HIV adalah antiretroviral (ARV) yang harus dikonsumsi setiap hari untuk menekan jumlah virus HIV sehingga kekebalan tubuh tetap terjaga.

Nia mengatakan, mayoritas ADHA dalam kondisi sehat dan jarang sakit. Mereka pun bisa tumbuh sehat layaknya anak yang tidak terinfeksi.

"Kalau pun sakit frekuensinya sama dengan anak yang tidak HIV, seperti ketularan pilek di sekolah. Jadi kita jangan menghakimi ADHA pasti gampang sakit," ujarnya.

Ia menuturkan, memang 30 persen ADHA dalam kondisi yang lemah dan sakit. Namun, sebagian besar berada dalam kondisi yang sehat.

"Mereka bahkan protes kenapa harus minum obat setiap hari dan periksa ke dokter rutin karena merasa tidak sakit," katanya.

Baca juga di Kompas.id: Edukasi untuk Akhiri Diskriminasi terhadap ADHA dan ODHA

Seperti anak-anak pada umumnya, ADHA juga terkadang susah diminta disiplin dan bosan mengonsumsi obat. Padahal, jika tidak minum obat beresiko tubuhnya akan kebal obat sehingga harus mengonsumsi obat lini kedua yang harganya jauh lebih mahal.

Obat ARV tersebut dijamin ketersediaannya oleh pemerintah dan diakses gratis oleh masyarakat.

"Pasien mendapatkan ARV dari rumah sakit yang sudah terdaftar. Memang tidak semua rumah sakit dan dokter bisa meresepkan karena pemberian ARV ini lebih rumit dari tatalaksana pengobatan biasa," kata Nia.

Kepatuhan dalam mengonsumsi obat, lanjut dia, akan berpengaruh besar pada kesehatan ADHA.

"Saya kenal ADHA yang sudah minum obat sejak bayi karena ia tertular dari orangtuanya. Sampai sekarang di usia sekitar 25 tahun ia tetap sehat dan sudah dua tahun lalu lulus kuliah dan sudah bekerja," kata Nia.

Di negara maju, tak sedikit orang dengan HIV/AIDS yang hidup sehat dan produktif walau tertular HIV sejak bayi.

Pekerjaan rumah yang masih dimiliki Indonesia adalah pencegahan penularan dari ibu ke bayi.

"Dalam hal pengobatan kita sama dengan negara-negara lain karena lini pengobatannya sesuai standar WHO," ujarnya.

Pekerjaan rumah yang masih dimiliki Indonesia, imbuh Nia, adalah pencegahan penularan dari ibu ke bayi.

"Di seluruh dunia arahnya ke sana, tidak ada lagi pasien bayi baru. Thailand sudah mengklaim tidak ada lagi penularan ke bayi, Malaysia sudah satu sampai dua persen. Kita masih 30 persen," katanya.

Menurutnya, ada banyak faktor yang membuat pencegahan penularan itu belum mencapai target.

"Kita tidak bisa menyalahkan ibu, karena kadang-kadang si ibu tidak tahu kalau dia HIV. Jadi banyak hal yang masih harus diperkuat, koordinasi kita kurang kuat," ujarnya.

Di lain pihak, Hikmah menilai pada anak yang mulai remaja, paparan pornografi dan narkoba juga harus dicegah untuk mencegah penularan HIV.

Ia menjelaskan, anak remaja yang terpapar pornografi atau menjadi korban kekerasan seksual lebih berisiko melakukan hubungan seksual yang tidak aman.

"Keterpaparan anak dari pornografi harus kita cegah, termasuk penanganan anak korban kekerasan harus sampai tuntas agar tidak ada korban baru," katanya.

PERJUANGAN MEREKA

CITA-CITANYA mulia sekaligus sederhana. Jadi guru matematika. Biasa, matematika jadi pelajaran yang digemari, sebagai alasannya.

Umurnya 14 tahun. Inisial namanya M. Baru saja jadi ranking satu di kelas, salah satu kelas SMP Negeri di Solo, Jawa Tengah.

"Dulu waktu SD memang dapat peringkat dua atau empat. Terus kemarin pas kelas satu SMP, dapat ranking satu," ucap M sambil tertawa, Rabu (17/7/2019). 

Secara perawakan dan penampakan, M seperti anak perawan seusianya. Dia pun mudah akrab, bahkan dengan orang yang baru kenal, sepanjang merasa nyaman.

Faktanya, M adalah anak dengan HIV/AIDS (ADHA). 

Di usianya yang baru belasan ini, kejamnya stigma dan diskriminasi sudah menjadi bagian dari cerita hidupnya.

M lahir di Kediri, Jawa Timur. Ibu mereka meninggal karena HIV/AIDS. Sejak itulah M dan adiknya mengenal dan merasakan diskriminasi.

"(Waktu itu), mereka kemudian diberi ruang di kelurahan, sebelum kami bawa ke Lentera," ujar Yunus Prasetyo, salah satu pendiri Yayasan Lentera, Rabu (17/7/2019).

Bagi M, adiknya, dan 39 anak lain, Yayasan Lentera merupakan "rumah". M dan adiknya tinggal di sini sejak empat tahun lalu. 

Yayasan Lentera merupakan salah satu lembaga yang menampung, menaungi, dan mengadvokasi ADHA. 

Sampai ada film-nya

Film pendek “Run Boy Run” karya Aji Aditya berikut ini menggambarkan bagaimana rasanya ADHA yang sudah kehilangan sang ibu, meski bapaknya masih ada, ketika harus rutin ke rumah sakit dan masih berhadapan dengan stigma masyarakat soal HIV/AIDS.

Film ini bercerita tentang Aryo, anak usia 10 tahun dengan HIV yang menolak ke rumah sakit untuk mendapatkan obat yang harus rutin dia minum.

Kepada ayahnya, Aryo bilang ingin segera mati untuk menyusul mendiang ibunya. Tak eksplisit disebutkan dalam dialog, ibu Aryo meninggal karena AIDS, tahap lanjut HIV yang terlambat diobati dan kerap disertai dengan beragam penyakit lain sehingga berisiko kematian. 

Penggambaran tokoh ODHA dalam film ini, Ranu dan Aryo, tak seperti bayangan kebanyakan orang. Tak terlihat sosok kurus kering, rapuh, dan batuk-batuk.

Justru, adegan Ranu—Diperankan Chicco Jerikho—mengejar Aryo dalam permainan sebagai upaya membujuk anaknya berobat, memperlihatkan kondisi fisik yang prima.

“Karena ya itulah mereka (dengan HIV). Mereka ada di sekitar kita dan fisiknya sama (seperti kita). Mereka (terlihat) sehat-sehat saja,” ujar Aji saat dihubungi Kompas.com, Jumat (19/7/2019).

Baca juga: 10 Mitos dan Fakta Seputar HIV/AIDS yang Penting Diketahui

Data UNAIDS pada 2017 memaparkan, terdapat 36, 9 juta masyarakat berbagai negara hidup dengan HIV dan AIDS. Dari total penderita, setidaknya 1,8 juta di antaranya adalah anak-anak berusia di bawah 15 tahun.

Perjalanan Aji mengeksekusi film tersebut juga tak bisa dibilang sebentar. Saat berbincang dengan Kompas.com, ia mengungkapkan bahwa ide besar cerita itu sudah ia punya sejak 2013.

Perkenalannya dengan ODHA bisa dibilang tadinya hanya tuntutan pekerjaan. Ia dulu adalah wartawan yang bertugas meliput isu-isu terkait ODHA.

“Bertemu dan bercengkerama dengan ODHA sudah keseharian saya. Bahkan, mereka tak hanya sekadar narasumber, saya masuk pada keseharian mereka jauh lebih dalam,” ungkap Aji.

Ia juga bercerita, ide dasar film itu adalah hubungan emosial anak dengan ayah. Hal-hal berkenaan dengan perasaan di film itu adalah sesuatu yang terjadi pada dirinya.

Ia melanjutkan, keadaan anak dengan HIV/AIDS adalah premis baru yang ia dapatkan sepanjang ia ingin merealisasikan ide dasar yang dimiliki di samping ia melakoni rutinitas pekerjaan.

“Masalah yang saya tampilkan adalah salah satu kegelisahan saya terhadap hal-hal yang terjadi kepada teman-teman saya (sepanjang perjalanan saya sebagai wartawan tadi),” sebut Aji.

Relasi ia dengan ODHA baik dengan secara personal atau pun komunitas-komunitas terkait bisa dibilang sangat dekat atau karib. Sampai film itu selesai dan layak tonton, ia kembali diskusikan dengan ODHA.

“Mulai dari script sampai talent dalam film kami diskusikan. Mereka senang dan bilang begitulah ODHA. Film saya bahkan disebut mereka punya spirit, memotivasi mereka bagaimana menjalani hidup," tegas Aji. 

ADHA juga korban

Menteri Kesehatan Prof Dr dr Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek, SpM, menegaskan bahwa HIV dapat diobati. Virus yang ada di dalam tubuh dapat ditekan jumlahnya, bahkan tidak aktif. 

Ibu hamil yang sudah dinyatakan HIV pun punya kesempatan untuk melahirkan anak-anak yang tidak terkena HIV

Ibu hamil yang sudah dinyatakan HIV pun punya kesempatan untuk melahirkan anak-anak yang tidak terkena HIV. Syaratnya, periksakan diri segera bila berisiko.

Bahkan, Kementerian Kesehatan telah menginiasi anjuran bagi setiap ibu hamil untuk menjalani pemeriksaan HIV.

"Inilah satu upaya yang harus kita lakukan. Tadi saya katakan, HIV ini bila tidak kita tekan virusnya ini, nanti akan masuk kepada anak yang ada dalam kandungan ibunya," tegas Nina, dalam wawancara khusus Kompas TV bersama Kompas.com, harian Kompas, dan Kontan, Selasa (16/7/2019).

Kementerian Kesehatan juga memastikan siapa pun—termasuk masyarakat umum—yang dinyatakan positif HIV akan mendapatkan fasilitas pengobatan yang didanai APBN dan bantuan.

"Harus ada kesadaran diri dan kesadaran bersama untuk memeriksakan diri. Lalu (bagi mereka yang positif HIV) rutin minum obatnya agar jumlah virusnya tidak bertambah, tidak berkembang menjadi AIDS, dan yang terpenting tidak menular ke pasangan (bagi orang dewasa) dan anak dalam kandungan ibu hamil," tegas Nina.

Dalam tanda kutip, ADHA ini korban. Dia tidak bersalah kok. Tapi, kan, kasihan kalau harus kena stigma.

Dengan tren penyebaran HIV/AIDS melalui hubungan seks tidak aman, penularan dari ibu kepada anak melalui plasenta dan atau air susu ibu (ASI), dan barulah transmisi lain seperti penggunaan bersama jarum suntik tidak steril dan transfusi darah, ungkap Nina, ADHA harus dilihat sebagai korban.

"Dalam tanda kutip, ADHA ini korban. Dia tidak bersalah kok. Tapi, kan, kasihan kalau harus kena stigma. Tapi, dia juga harus rutin minum obat," ujar Nina. 

Telusuri juga: Peta Interaktif - Merata Se-Indonesia, Sebaran Anak dengan HIV/AIDS

Meski bukan semata bidang tugasnya, Nina melihat stigma menjadi simalakama. Ibu hamil, ujar dia, cenderung enggan memeriksakan diri untuk kemungkinan HIV karena bisa jadi tidak merasa pernah berhubungan seks tidak sehat. 

Tidak adil lagi, bukan, bila anak-anak yang terlahir dan ternyata juga positif HIV pun masih harus mendapat stigma, terdiskriminasi, bahkan kesusahan untuk mendapatkan haknya bersekolah?

#RangkulADHA #4K #VoiceForVoiceless