Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jeritan Mahasiswa Indonesia di Singapura

Kompas.com - 05/03/2009, 13:07 WIB

SINGAPURA, KAMIS — Penyebab kematian David Hartanto Widjaja (21) hingga kini masih misterius. Awalnya, mahasiswa Indonesia yang kuliah di Nanyang Technological University (NTU), Singapura, itu diberitakan bunuh diri setelah menusuk dosen pembimbingnya. Namun, hingga kini kepastiannya masih misteri.

Terlepas motif di balik insiden yang menggegerkan Singapura itu, peristiwa tersebut sedikit menguak "penderitaan" mahasiswa Indonesia di luar negeri. Mereka adalah mahasiswa cerdas, tetapi stres karena terbebani target terlampau tinggi.

Begitu kasus David mencuat, banyak mahasiswa di Singapura mengungkapkan jeritan hatinya di berbagai situs jejaring sosial. Betapa tekanan untuk berhasil begitu tinggi. Sampai akhirnya sejumlah mahasiswa memilih berusaha bunuh diri. Ada yang membenturkan kepala ke kaca dan ada pula yang sampai masuk rumah sakit jiwa.

Pengguna situs Multiply bernama Margaritta, misalnya, mengungkapkan isi hatinya tentang penderitaan kuliah berbeasiswa di Singapura.

"Gue tidak menyesali empat tahun ke belakang karena, memang benar, tanpa apa yang ada empat tahun itu, tidak ada gue yang sekarang. Tapi gue juga tidak menyangkal bahwa hal sama yang telah gue lewati telah membuat kakak temen gue melompat ke rel kereta api dalam percobaan bunuh diri yang gagal. Mengirim anak dokter ternama masuk rumah sakit jiwa. Membawa seorang kawan memecahkan kaca ruang kuliah dengan kepalanya sendiri," tulis Margaritta.

"Bener2 menggambarkan perasaan kita 'hiks, msh freshie br mau k year 2, msh blm terbiasa sm' suasana di sini," sambung Salzannisa.

Margaritta kemudian menuturkan bahwa Singapura memberikan pelayanan baik bagi mahasiswa penerima beasiswa. Namun, mereka juga menuntut banyak.

Berikut penuturannya : Di Singapura, kami dijamu oleh kamar asrama. Kami mendapatkan kamar yang bersih, air listrik-microwave sepuasnya, plus internet 100mbps. Fasilitas sekolah sangat baik. Beberapa dari kami menjadi asisten dosen, digaji untuk belajar dan riset dengan materi tercukupi.  

Sayangnya, terkadang terlupakan bahwa bakat itu melekat pada seorang manusia. Kami dilihat hanya berdasarkan apa yang dapat kami hasilkan, bukan sebagai anak manusia. Hak paten apa yang bisa kami hasilkan? Tulisan untuk jurnal mana yang bisa kami terbitkan? Dapatkah penghasilan kami meningkatkan pendapatan nasional?

Terlebih gue bukan warga negara, itu artinya gue dan orangtua gue tidak pernah menyumbangkan pajak guna membangun negara. Jadi ketika gue menikmati majunya negara Singapura, gue dituntut untuk ‘membayar’ lebih dari warga-negara biasa, dengan semakin berprestasi dan mengharumkan nama universitas seharum-harumnya."

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com