Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Generasi Digital", Siapkah Kita Menghadapinya? (Bagian I)

Kompas.com - 13/04/2009, 15:04 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Teknologi tak bisa dikendalikan. Google, Yahoo, Blog, Wikipedia, Youtube, Facebook, serta nama-nama lain dalam teknologi Web 2.0 saat ini seolah bagian dari keseharian para siswa, anak-anak didik
kita. Meski hanya sehari, tanpa telepon genggam pun hati mereka rasanya tak tenang. Sesaat, tanpa itu semua hidup serasa hampa.

Cukup lewat jari-jari, segalanya pun begitu mudah dan ringkas tersaji di depan mata. SMS, kamera, MP3/MP4 Player, Bluetooth, 3G, GPRS, GPS, dan banyak lagi yang membuat mereka sangat mudah menjalani hari demi
harinya. Oleh mereka, dunia serasa semakin kecil, karena kini memang sudah tergenggam di tangannya.  

Interaksi sosial pun mereka lalui tanpa melewatkan teknologi. Warnet atau kafe-kafe hotspot seakan "rumah kedua". Kafe bukan lagi milik orang dewasa, melainkan "milik bersama" mereka, yang rutin mereka sambangi. Di situlah mereka kerap berkenalan, berbincang, serta membangun jaringan sosial sambil menyeruput segelas coklat atau kopi panas.

Sulit dimungkiri, seperti itulah kiranya sebagian besar wajah generasi muda kita saat ini. Wajah, yang pada tahun 1980-an silam, mungkin tak sempat atau pernah kita bayangkan bakal terjadi.

Ya, mereka memang terlahir dan hidup dalam dunia digital, dunia yang diadopsi sebagai bagian keseharian, gaya belajar, serta berinteraksi sosial. Mereka adalah generasi digital natives, penduduk asli dunia digital. Mereka, melalui naluri alamiahnya, bisa dengan mudah mencari berbagai informasi, belajar dan memecahkan masalahnya sendiri, serta menciptakan berbagai inovasi kreatif dengan segala pernak-pernik teknologi.

Mereka nikmati musik secara digital, bermain pun secara online. Mereka cenderung menyukai komputer, gambar, animasi, video, dan terakhir barulah dokumen berbentuk teks.

Mereka pun menghayati perannya sebagai multi tasking. Mereka menyukai pekerjaan yang dilakukan dengan cara dan dalam waktu bersamaan. Sementara kita, orang dewasa, adalah digital immigrants. Kita adalah warga pendatang di dunia digital mereka itu. Kita cenderung menyukai informasi dalam bentuk kertas dangan banyak teks, barulah kemudian gambar dan video.

Kini, bagaimana kita (para pendidik dan orang tua) menyikapi fenomena ini? Apa solusinya?


Penulis: Markus Mardianto/Program Developer and Facilitator Pedagogy di Sampoerna Foundation Teacher Institute

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com