Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nara, Catatan Awal Peradaban Jepang

Kompas.com - 27/04/2009, 08:13 WIB

Tak salah bila Nara diibaratkan ”satu tarikan napas” dengan Kyoto. Dari sisi sejarah, kedua kota ini bertautan erat. Nara merupakan ibu kota pertama Jepang sebelum kemudian dipindahkan ke Kyoto selama hampir 1.000 tahun. Keduanya pun hanya terpaut jarak 42 kilometer.

Kebetulan, Jumat terakhir bulan Maret itu merupakan ”Shunbun-no hi” (vernal equinox day), hari di mana matahari melintasi khatulistiwa sehingga panjang siang sama dengan panjang malam. Bagi warga Jepang ini adalah saat untuk bersilaturahim dan mengunjungi makam keluarga. Tak mengherankan bila sejak pagi stasiun kereta api antarkota di Tokyo sudah dipadati warga yang akan melewati libur panjang di luar kota. Semua bergegas menyeret kopernya.

Perjalanan menuju Kyoto dengan kereta cepat Shinkansen dirambah selama tiga jam. Kota Shinagawa, Mishama, Hamamatsu, Yokohama, Nagoya, terlewati dengan cepat. Sesampai di Kyoto, perjalanan ke Nara dilanjutkan dengan kereta api biasa. Suasana di Stasiun Kyoto jauh lebih tenang. Tempat duduk di dalam kereta pun tak semuanya terisi.

Dari balik jendela, ragam pemandangan berkelebat silih berganti. Dari padang rumput, berganti menjadi deretan rumah mungil, berganti lagi ke ladang-ladang pertanian yang berpetak teratur. Warna-warni bunga mulai menyeruak di pojok-pojok pekarangan. Musim semi segera tiba….

Nara merupakan pintu masuk penyebaran agama Buddha ke Jepang pada abad keenam. Sejumlah kuil yang berada di kota ini menjadi saksi bagaimana ajaran itu mencapai kejayaannya dan bertahan sampai milennia berikut. Tetapi, pada era Kekaisaran Meiji, politik memasuki wilayah agama. Muncullah keputusan kaisar pada tahun 1868 yang membatasi ajaran Buddha. Shinto kemudian menjadi satu-satunya kepercayaan yang diakui secara resmi era itu.

Lintasan sejarah itu terefleksikan di Kuil Todai-ji. Inilah magnet kota Nara. Di sini terdapat patung raksasa Sang Buddha yang dibangun semasa pemerintahan Kaisar Shomu (724-749). Kuil Todai-ji juga diyakini sebagai bangunan kayu terbesar di dunia, yang beberapa kali harus dibangun ulang karena rusak parah akibat akibat gempa, kebakaran, dan peperangan.

Bangunan yang ada saat ini hanyalah sepertiga dari luas aslinya. Patung perunggu Sang Buddha yang memiliki tinggi 16 meter dan berat sekitar 437 ton itu, kokoh menjulang di ruangan berdinding kayu. Ruangan sederhana itu telah melewati beragam zaman, lebih dari sepuluh abad.

Nara adalah kota taman. Dan, taman-taman di kota ini berpenghuni ratusan kijang yang bebas berkeliaran. Mereka diyakini sebagai titisan para dewa. Datanglah ke Kuil Kasuga dan sempatkan menengok ruang penyimpanan benda berharga dari Periode Heian (Abad 9-10). Semua benda yang dipamerkan memiliki kaitan dengan legenda Dewa Kasuga yang tiba di Nara dengan menunggangi kijang putih. Legenda itu dituangkan dalam karya seni adiluhung berbentuk lukisan sutra, pahatan kayu, tembikar, keramik, sampai peralatan perang. Semuanya beratribut kijang.

Kuil Kasuga juga dikenal sebagai kuil lentera. Ada sekitar 3.000 lentera batu mengapit jalan masuk menuju bangunan utama. Sementara bangunan di dalam kuil pun dipenuhi deretan lentera perunggu dan kuningan. Upacara khusus untuk menyulut lentera hanya diadakan dua kali dalam setahun, yaitu awal Februari dan pertengahan Agustus. Bisa dibayangkan, ketika gelap malam menyelimuti Kasuga yang dikelilingi perbukitan, dan ribuan lentera itu dinyalakan … alangkah indahnya.

Terawat

Bila punya cukup waktu, Nara bisa dikelilingi dengan berjalan kaki atau naik sepeda. Taksi juga mudah ditemukan. Hanya saja, rute yang diambil taksi biasanya jalan-jalan utama. Padahal, di antara gang-gang sempit yang berkelok banyak keindahan tak terduga. Rumah-rumah berarsitektur kuno, kuil-kuil cantik berskala kecil, dan juga kafe untuk melepas lelah.

Masalah bahasa memang kerap menjadi kendala bagi turis asing. Tetapi, beragam brosur dalam bahasa Inggris disediakan gratis di stasiun Nara. Di sini, semua barang juga sudah ditempeli harga sehingga tak perlu tawar-menawar, cukup menunjuk barangnya. Makan di restoran pun sangat mudah karena semua jenis makanan sudah dibuat tiruannya yang dipajang di etalase, lengkap dengan harganya. Jepang juga tidak memiliki budaya tips.

Kebersihan kamar kecil? Untuk yang satu ini Indonesia perlu belajar. Kamar kecil di pelosok mana pun terawat kebersihannya. Antre di stasiun kereta api ataupun di stasiun bus tidak membuat tegang (karena membayangkan kondisi WC setelah dipakai banyak pengunjung). Setiap orang merasa wajib untuk memikirkan kepentingan pemakai berikutnya. Toilet yang ditinggalkan selalu dalam kondisi bersih dan rapi. Budaya yang sungguh membuat iri.

Selain sudah menjadi sikap hidup, kenyamanan itu pun merupakan bagian dari kampanye agresif Pemerintah Jepang untuk menjadikan Jepang sebagai ”negeri pariwisata”. Sejak tahun 2003, Perdana Menteri Jepang kala itu, Koizumi, mencanangkan target untuk menggandakan kedatangan wisatawan ke negara itu menjadi 10 juta per tahun. Target itu harus dicapai pada tahun 2010.

”Sebetulnya kami optimistis target ini bisa tercapai karena pada tahun 2008 jumlah wisatawan asing yang datang sudah mencapai 8,35 juta orang, atau bertambah 4 juta orang dalam waktu empat tahun. Tetapi, kini terjadi krisis global. Kami harus terus kerja keras,” kata Toyohito Shinada, Chief Official, Divisi Promosi Pariwisata, Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, Transportasi dan Turisme Jepang.

Jepang yang sudah menjadi negara industri pun merasa harus terus bekerja keras untuk membenahi industri pariwisatanya. Bagaimana dengan Indonesia?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com