Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka yang Berinovasi di Bidang Pendidikan

Kompas.com - 27/04/2009, 09:50 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Pendidikan, sejatinya, diyakini siapa pun sebagai salah satu jalan dan prioritas terpenting untuk memajukan warga negara Indonesia. Akan tetapi, realitas yang ada, tiap kali membicarakan pendidikan di negara yang sudah 63 tahun merdeka ini, ada rasa gamang yang mengganggu optimisme untuk keluar dari belitan masalah sumber daya manusia yang bermutu.

Lembaga persekolahan yang menjadi tumpuan untuk mendidik individu - individu berkualitas dinilai masih tertinggal dalam menjawab tantangan zaman. Padahal, perubahan global yang pesat menuntut sumber daya manusia cerdas secara intelektual, emosional, spiritual, serta peduli terhadap persoalan lingkungan hidup.

Desakan supaya bangsa ini kembali kepada ”roh” pendidikan seperti yang diwariskan para pendiri negeri ini begitu kuat. Pendidikan dirasakan belum ”keluar” dari paradigma lama yang menempatkan siswa sebagai obyek pendidikan.

Penekanan pendidikan belumlah membekali siswa menjadi manusia yang berkembang dalam multi-intelegensia. Anak-anak dihargai dari nilai-nilai akademis semata. Sekolah pun akhirnya masih dipandang sebagai lembaga yang membelenggu kebebasan siswa untuk bisa memaksimalkan potensi dan kreativitasnya.

Mesti diakui secara obyektif tidak semua langkah dan kebijakan pemerintah itu buruk sama sekali. Namun, apa yang diputuskan pemerintah terkait pendidikan diyakini belumlah menyentuh pada hal mendasar yang seharusnya diperbaiki dalam sistem pendidikan nasional.

Bolehlah pemerintah mengklaim dalam lima tahun terakhir ini, sejak diberlakukannya Ujian Nasional tahun 2004, terjadi peningkatan mutu yang signifikan. Data statistik yang disodorkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) memperlihatkan, bahwa nilai rata-rata ujian nasional mengalami kenaikan dari rata-rata 5,5 menjadi 7,3.

Persoalan bahwa angka-angka tersebut dicapai dengan cara belajar drilling atau penyiapan siswa secara ”mati-matian” di tingkat akhir setiap jenjang pendidikan tak membuat pusing petinggi negara ini. Pokoknya anak-anak sekolah Indonesia bisa lulus mendekati 100 persen. Tak peduli, apakah konsep-konsep dasar dari setiap ilmu pengetahuan yang dipelajari siswa itu sungguh-sungguh dipahami dan mampu diaplikasikan dalam kehidupan.

Mandiri, Kreatif, Kritis

Polemik bagaimana menjalankan pendidikan yang membebaskan dan memberdayakan tiap warga memang tidak akan berhenti, bahkan di negara maju sekalipun. Namun, pendidikan di Indonesia secara umum dinilai masih belum memberikan optimisme yang cukup kuat untuk penyiapan sumber daya manusia yang mandiri, kreatif, kritis, berkarakter kuat, dan memiliki pengabdian bagi bangsanya.

Sujono Samba dalam bukunya berjudul 'Lebih Baik Tidak Sekolah' yang diterbitkan LKiS mengatakan, sistem pendidikan di negeri ini nyaris kehilangan rohnya. Demikian banyak wacana, kritik, dan koreksi dari berbagai kalangan, tetapi belum juga menemukan formulasi yang tepat untuk memberdayakan pendidikan. Kalau toh ada upaya perbaikan, sering tidak produktif pada tataran aplikasi karena ujung-ujungnya sebatas pada pembangunan fisik dan simbol-simbol, bukan pada penguatan substansi.

Lebih lanjut, guru Sujono ini mengatakan, kita tidak perlu meratapi kebodohan dan ketertinggalan sumber daya kita ketika dibandingkan dan disandingkan dengan negara lain. Apalagi kemudian dengan emosional kita mencoba mengejar ketertinggalan tersebut dengan semangat bersaing.

Kegiatan gugat-menggugat siapa yang paling bersalah dalam membuat kebijakan pendidikan juga sebaiknya segera dihentikan karena tidak akan menemukan ujung pangkalnya. Jauh lebih bermanfaat adalah melakukan sesuatu daripada sekadar berpangku tangan membiarkan keterpurukan pendidikan yang akhirnya juga menjadi keterpurukan generasi Indonesia secara berkesinambungan.

Mereka yang Berbuat

Ketidakpuasan pada apa yang ditawarkan sistem pendidikan yang didesain pemerintah hingga saat ini memang relatif. Akan tetapi, dari realitas inilah justru lahir upaya-upaya dan kreativitas menciptakan pola-pola pendidikan yang tidak membuat anak terbebani saat menemukan kata belajar.

Lendo Novo, alumnus Institut Teknologi Bandung, menggagas lahirnya sekolah alam karena rasa gemas pada sistem pendidikan yang tidak berangkat dari potensi yang dimiliki bangsa ini, yakni alam Indonesia yang kaya sebagai gudang ilmu pengetahuan. Pendidikan yang dialami siswa adalah yang membekali kehidupan saat menjadi apa pun pilihan mereka nantinya.

Sulthon Amien, Ketua Badan Pembina Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya, merasa resah dengan persekolahan yang berubah jadi ”neraka” buat anak-anak yang seharusnya bergairah untuk mengeksplorasi banyak hal dalam kehidupan. Berangkat dari pengalaman anak-anaknya yang justru stres saat berada di sekolah, Sulthon dan istrinya terinsipirasi mendirikan sekolah yang bersahabat dengan anak-anak.

Pendidikan pun tak dimaknai Sulthon dari nilai-nilai semata, apalagi selembar ijazah. Yang penting, anak-anak menikmati belajar dan bisa berkembang. Keyakinan ini dibuktikan dari dibebaskannya anak-anaknya untuk bersekolah formal atau tidak. Nyatanya, dengan memaknai pendidikan melampaui dari batas dinding-dinding sekolah, anak-anak bisa berhasil menjadi apa yang diinginkan.

Lakukan Terobosan

Jika berbicara soal anak-anak jenius, salah satu nama yang diingat adalah Profesor Yohanes Surya. Fisikawan berkaliber internasional ini meyakini Indonesia memiliki anak-anak jenius yang tidak kalah dibandingkan dengan negara lain dan suatu saat ilmuwan Indonesia bisa meraih Nobel.

Daripada berpangku tangan melihat negara yang masih abai pada pendidikan anak-anak berpotensi itu, Yohanes melakukan banyak terobosan untuk bisa membuka mata pemerintah dan kita semua bahwa Indonesia harusnya percaya diri untuk bisa maju di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Upaya yang tiada henti setidaknya melahirkan komitmen pemerintah yang mulai memfasilitasi beasiswa pendidikan anak-anak cerdas istimewa.

Upaya untuk membuat anak-anak Indonesia tidak alergi terhadap pelajaran sains di sekolah menjadi mimpi Sanny Djohan dan timnya dengan melahirkan komik sains Kuark. Penjelasan sains dengan komik dimaksudkan supaya belajar sains tidak lagi dicitrakan hanya untuk anak-anak yang berotak cemerlang.

Sanny yang pengusaha dan ibu rumah tangga ini ketika kembali lagi ke Indonesia setelah lama di luar negeri merasa kaget dengan pendidikan di negeri ini. Anak-anaknya tidak menikmati pendidikan yang dijalani sampai akhirnya bergabung lagi dengan salah satu sekolah internasional.

Keresahannya terhadap kondisi pendidikan membawanya pada upaya untuk menemukan cara yang pas berkontribusi di bidang ini. Dengan menggandeng orang-orang yang juga punya kepedulian sama bagi masa depan generasi bangsa, tercetuslah membuat komik sains yang bisa disukai semua anak, terutama di jenjang pendidikan dasar. Dan, kegiatan Olimpiade Sains Kuark yang boleh diikuti siapa saja itu mulai menjadi kegiatan yang ditunggu-tunggu.

Kerinduan untuk bisa menghadirkan belajar yang menyenangkan buat anak dan mengembangkan potensi unik setiap anak mendorong semakin tumbuhnya sekolah rumah atau homeschooling serta pendidikan alternatif lainnya. Belajar dipahami tidak mesti di sekolah, tetapi di mana saja, kapan saja, dan bersama siapa saja, dengan meletakkan tanggung jawab utama pelaksanaannya oleh keluarga. Komunitas ini bergabung dalam Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif dengan Ketua Umum Seto Mulyadi.

Kegelisahan dan keresahan pada sistem pendidikan nasional yang andal untuk melahirkan sumber daya manusia berbobot bagi mereka yang peduli pada masa depan bangsa ini memang bisa membuat frustrasi.

Namun, di tengah situasi tersebut, bertindak nyata yang bisa menginspirasi perbaikan pendidikan saat ini sangat dibutuhkan anak-anak kita. Dan, telah ada banyak individu dan kelompok yang mulai berbuat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com