Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Guru Terjebak pada LPTK Ilegal

Kompas.com - 04/05/2009, 04:24 WIB

Jakarta, Kompas - Di tengah peringatan Hari Pendidikan Nasional, guru yang posisinya dimarjinalkan terpikat oleh lembaga pendidikan tenaga kependidikan ilegal, terutama di daerah. Sebanyak 5.000 guru di daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat menjadi korban LPTK ilegal.

Sementara itu, kesejahteraan guru terus menjadi sorotan dan dipersoalkan. Para guru menilai pemerintah belum menjadikan pendidik sebagai kunci penting dalam peningkatan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah.

Tuntutan guru profesional yang harus memiliki kualifikasi akademik D-IV atau S-1 paling lama tahun 2015 membuat resah guru karena ketentuan itu sebagai salah satu syarat penting untuk bisa diikutkan dalam sertifikasi pendidik. Status tersebut terkait pada peningkatan gaji.

Akibatnya, banyak guru di daerah yang tidak selektif dan mudah tergiur dengan tawaran kuliah di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) untuk meraih gelar sarjana pendidik. Tawaran itu datang dari sejumlah perguruan tinggi swasta (PTS) dari Pulau Jawa yang menawarkan kuliah jarak jauh yang bisa selesai dalam waktu tiga hingga enam bulan dengan biaya berkisar Rp 10 juta

5.000 ilegal

Ali A Rahim, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Nusa Tenggara Barat, yang dihubungi dari Jakarta, Minggu (3/5), mengatakan, sedikitnya 5.000 guru di NTB diduga memiliki ijazah sarjana S-1 ilegal. Sekitar 800 guru diduga mengantongi ijazah magister yang dipertanyakan keabsahannya.

Ali mengatakan, persoalan itu diketahui ketika para guru tersebut tidak bisa menggunakan ijazahnya. Saat mereka mengurus uji sertifikasi guru atau kenaikan pangkat, ijazah S-1 yang mereka miliki dinyatakan ilegal.

”Setelah itu, banyak laporan ke PGRI NTB. Setelah kami selidiki, ribuan guru itu kuliah di 15 PTS yang membuka kelas jarak jauh. PTS itu enggak ada cabang di NTB. Mereka cuma pakai sekolah-sekolah atau tempat lain untuk kuliah, lalu dalam empat bulan guru itu bisa jadi sarjana pendidikan. Itu kan tidak benar,” kata Ali.

 

Ali menerangkan, ketentuan yang termaktub dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 menyebut kelas jauh tidak diizinkan. Menyadari banyak anggotanya yang tertipu, PGRI NTB akan melakukan gugatan, baik perdata maupun pidana.

Beberapa waktu lalu, keluar kesepakatan antara PGRI, jajaran dinas pendidikan NTB, Kopertis Wilayah VII di Denpasar, dan Kopertis Wilayah VIII di Surabaya bersama Gerakan Pemuda Islam (GPI) untuk menghentikan operasi 15 PTS itu di NTB.

Unifah Rosyidi, Ketua Pengurus Besar PGRI, mengatakan, tindakan LPTK yang mengiming-imingi guru dengan pendidikan instan sungguh melecehkan guru. ”LPTK yang seperti itu di daerah-daerah harus ditindak tegas. Guru tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Apalagi, di daerah kesulitan kuliah S-1 pendidikan,” kata Unifah.

Protes

Secara terpisah, di Jakarta pada Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei kemarin, sejumlah pelajar, mahasiswa, orangtua, pendidik, dan masyarakat pemerhati pendidikan yang tergabung dalam Komite Bersama Aksi Rakyat untuk 2 Mei menegaskan, Pemerintah harus lebih serius meningkatkan kualitas pendidikan dengan tidak mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan, lebih kreatif dan profesional memilih rencana strategis untuk menghasilkan manusia Indonesia yang berkarakter, berkualitas, dan berhati nurani.

”Pendidikan yang baik sangat berpengaruh pada keadaan suatu negara. Sebaliknya, pendidikan rusak, rusaklah negara,” kata Anto, Koordinator Serikat Pekerja Profesi Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

Mendiknas Bambang Sudibyo, dalam upacara Hardiknas, mengatakan, pemerintah serius memerhatikan guru guna memperbaiki citra dan martabat para pendidik. Saat ini sekitar 1,74 juta guru belum D-IV/S-1 dan 150.000 dosen belum S-2/S-3.(ELN)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com