Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Dual Language", Inikah Solusi Terbaik Pengajaran Dwibahasa?

Kompas.com - 14/05/2009, 12:30 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Pengajaran dwibahasa antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris di sebuah institusi pendidikan harus seiring sejalan karena keduanya sama-sama penting dan dibutuhkan. Untuk itulah, High/Scope Indonesia mengenalkan metode Dual Language-Additive Programs bagi para guru, siswa, dan orangtua muridnya.

Hal tersebut diungkapkan oleh Antarina SF Amir, Ketua High/Scope Indonesia, Rabu (13/5) kemarin dalam jumpa pers sosialisasi konsep dual language bertema "Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris Sama Pentingnya: Mencari Solusi Terbaik Pengajaran Dwibahasa di Sekolah" di Jakarta.

Antarina mengatakan, metode pengajaran bahasa Inggris pada siswa yang bahasa pertamanya bukan bahasa Inggris bisa diklasifikasikan dalam dua kelompok besar, yaitu Subtractive Programs dan Additive Programs. Pada Subtractive Programs, instruksi pengajaran disampaikan dalam bahasa Inggris.

Mengadopsi program tersebut, bahasa pertama atau bahasa Indonesia tentu digantikan sepenuhnya oleh bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Dengan konsep semacam itu, kata Antarina, beberapa sekolah mengajarkan bahasa Indonesia hanya di saat pelajaran bahasa Indonesia, karena semua mata pelajaran diberikan dalam bahasa Inggris.

Buruknya, Antarina menjelaskan, cara tersebut memang membuat siswa akan lebih pandai, baik dalam bahasa Inggris akademis maupun sosial. "Sebaliknya, ketika harus berbahasa Indonesia mereka hanya sebatas bahasa sosial saja, karena hanya sering menggunakannya sebagai bahasa percakapan," ujarnya.

Sementara itu, proses pembelajaran pada Additive Programs dilakukan sekaligus dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Kurikulumnya didesain sedemikian rupa dalam satu konsep atau ide materi pelajaran yang terintegrasi dengan mata pelajaran lain secara sekaligus.

"Satu tema kami sinergikan dengan mata pelajaran lain mulai dari sains, matematika, sosial, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, hal ini agar siswa bukan hanya baik dalam berbahasa melainkan juga keterampilan bidang lain," tukas Antarina.

Antarina mencontohkan penggunaan materi pelajaran sains tentang iklim, misalnya. Di awal pemberian materi, siswa akan dijelaskan dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya, materi tersebut diolah lagi oleh siswa lewat berbagai sudut pandang keilmuan lain.

Bidang matematika, misalnya. Siswa diminta membuat grafik tentang temperatur, kecepatan angin, atau curah hujan. Sementara dari sudut pandang sosial, siswa akan mengaitkan antara iklim dan kebutuhan manusia atas rumah, pakaian, makan, dan kebutuhan hidup lainnya.

Selain itu, siswa akan mengulas materi tersebut dalam bahasa Inggris. Menggunakan kemampuan bahasa Inggrisnya, siswa akan diarahkan untuk kreatif, baik untuk membaca atau menulis, semisal puisi terkait materi pelajaran tersebut, berbahasa Inggris.

Sinergi

Konsep pengajaran dual language-Additive Progams tersebut telah diujicobakan oleh pakar linguistik dari Universitas Arizona, yaitu Dr David Freeman dan istrinya, Dr Yvone Freeman dalam serangkaian penelitian di AS, Meksiko, Argentina, Bahrain, Hongkong, serta Kamboja. Kesuksesan program tersebut, menurut kedua pasangan ahli linguistik, terletak dari kuatnya dukungan sekolah, guru, dan orangtua dengan berbagai pelatihan-pelatihan terkait. 

Antarina mengatakan, melalui konsep dual language-Additive Programs, siswa bukan hanya didorong menguasai bahasa Inggris, melainkan juga menguatkan kemampuan bahasa ibu mereka sendiri. Dengan metode ini, sekolah bisa mengembangkan keterampilan berbahasa akademik siswa sekaligus pada kedua bahasa itu.

"Dan dengan cara itu otomatis bukan bahasa saja yang bisa diajarkan, karena mata pelajaran lain sebagai keterampilan mereka pun bisa sekaligus didapatkan secara integral," tambahnya.

Pendapat itu diamini oleh peserta seminar dari kalangan pendidik. Staf pendidik High/Scope Medan, Aniza Saragih, misalnya. "Mereka harus bisa berkembang dalam dua bahasa dan keduanya harus sama-sama berkualitas, hal ini untuk memudahkan pemahaman mereka akan materi pelajaran yang diberikan," tandas Aniza, yang menerapkan dual language of the day di sekolah tersebut.

Pendapat Cicilia Pratiwi, seorang guru di High/Scope Cilandak, lain lagi. "Cara ini mengakomodasi kebutuhan anak untuk memahami sebuah materi pelajaran, sebaliknya sebagai pendidik kami juga terbantu dalam memberikan pemahaman kepada mereka," ujar Cicilia.

Hanya, tambah Cicilia, dukungan antarsesama guru, buku pelajaran, pengelola sekolah, bahkan orangtua, harus kuat. "Kemampuan siswa berbeda-beda sehingga kasus atau permasalahannya juga tidak sama, untuk itu perlu sinergi yang baik untuk mengatasinya," kata Cicilia.

Menurutnya, di sekolah guru harus saling mendukung dalam perumusan tema. Buku-buku di sekolah juga harus yang berkualitas. "Sementara di rumah, orang tua tidak cukup hanya berpangku tangan menerima apa yang sudah diberikan oleh guru kepada putra-putrinya," ujar Cicilia. 

Senada pendapat Cicilia, Antarina menandaskan komentarnya. "Dengan metode ini, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia menjadi sama pentingnya, kualitas siswa menggunakan dua bahasa bisa diandalkan baik pada bahasa akademis maupun sosial," ujarnya. "Lebih penting lagi adalah nilai-nilai nasionalisme mereka terhadap bahasa nasionalnya tidak terkikis akibat kesehariannya di sekolah dan di rumah memakai bahasa Inggris," tambahnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com