Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kerakyatan Vs Neolib, yang Penting Akomodasikan Rakyat!

Kompas.com - 18/05/2009, 08:57 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Polemik mengenai sistem ekonomi kerakyatan dan ekonomi neoliberalisme  terkait konsep perekonomian capres/cawapres makin meruncing. Padahal, yang terpenting adalah bagaimana peran negara menyeimbangkan industri besar dan kecil.

"Apa pun sistem ekonomi yang dipakai, yang paling penting adalah peran negara dalam menyeimbangkan industri hulu maupun hilir," ujar pengamat ekonomi INDEF, Aviliani, kepada Kompas.com.

Peran negara dalam sistem ekonomi liberal, menurut Aviliani, bisa diterapkan. Namun, negara harus dapat menempatkan kepentingan industri kecil sekaligus mengembangkannya menjadi potensi ekonomi. "Mana yang harus diproteksi dan mana yang tidak, itu peran negara diperlukan. Misal sektor pertanian itu harus disubsidi, tetapi industri hilir dikembangkan," jelasnya. 

Kebijakan liberalisasi yang dijalankan SBY, menurut Aviliani, tak sepenuhnya andil pemerintahan saat ini. "Banyak sekali kebijakan letter of intent dari pemerintahan terdahulu dan belum selesai, lalu menjadi tanggung jawab pemerintah saat ini," jelasnya. 

Kelemahan sistem ekonomi yang saat ini diterapkan, dipaparkannya, terletak pada terlalu terbukanya negara memberi porsi bagi pasar untuk turut andil. "Peran negara itu yang terpenting untuk menentukan mana yang boleh dilepas dan diserahkan ke pasar dan mana yang tidak," tuturnya. 

Sistem yang saat ini susah berjalan baik, dikatakannya, hanya perlu ketegasan dalam beberapa kebijakan terkait hal-hal yang bisa diserahkan ke pasar atau atas kendali pemerintah. Misalnya, masih ada beberapa peraturan perundangan yang perlu dikaji, seperti UU Devisa Bebas No 24/1999. "Sejak kita menganut devisa bebas, negara tidak bisa mengontrol keluar masuknya uang. Maka, peran spekulan jangka pendek sangat besar, inilah yang perlu diperbaiki," katanya.

Contoh lain, UU Independensi BI yang justru membuat kepemilikan bank-bank dalam negeri banyak dikuasai asing saat ini, termasuk juga beberapa kali penjualan BUMN kepada pihak asing. "Kebijakan seperti ini harus dikaji ulang," tegasnya.

Sedangkan ekonomi kerakyatan yang berbasis kepentingan rakyat, menurutnya, justru tak realistis dilakukan saat ini. Pasalnya, sistem ekonomi ini lebih condong diterapkan di negara-negara sosialis. "Kondisi makroekonomi dengan defisit anggaran yang besar tak bisa mengakomodasinya.Kita masih butuh investor, padahal sistem ini menganut konsep tanah itu milik rakyat, lalu bagaimana pembagiannya, ini yang membingungkan," jelasnya.

Beberapa negara yang berhasil menerapkan sistem ini meski tak mengakomodasinya secara utuh, antara lain Singapura dan China. "Dia sana tanah memang dibagi-bagi, tetapi kepemilikannya diatur, negaralah yang berperan mengaturnya," ujarnya.

Ditegaskannya, sistem apa pun yang akan diterapkan, peran negara seharusnya dapat mengakomodasi kepentingan rakyat. "Jadi, bagaimana mempertahankan industri besar tetap berjalan, tetapi industri kecil dan menengah juga terus tumbuh," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com